Senin, 10 Agustus 2009

MAKNA DAN HAKIKAT PERJANJIAN BARU DALAM KITAB YEREMIA
(Sebuah telaah biblis atas Yer. 31:31-34)
Oleh : Alexander Sisko MSC, Roy Paat, dan Stefanus Janubi
[Mahasiswa STF-SP, Semester V]

1. Latarbelakang Penulisan
Kitab Suci merupakan buku pegangan iman kita yang berisikan wahyu Ilahi. Mempelajari Kitab Suci merupakan salah satu upaya kita un-tuk mendalami pesan yang disampaikan oleh Allah sendiri, baik pesan yang termuat dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Setiap perjanjian memiliki kekhasannya sendiri dalam menyampaikan pesan teo-logisnya. Perjanjian Lama lebih menekankan hubungan Allah dengan bang-sa Israel [umat pilihan-Nya], sedangkan Perjanjian Baru merupakan pe-nyempurnaan dari Perjanjian Lama, bahwa relasi antara Allah dengan ma-nusia, tidak lagi bersifat eksklusif melainkan universal diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
Pada kesempatan ini, kami diberi tugas oleh dosen pembimbing mata kuliah nabi-nabi untuk mendalami Kitab Suci Perjanjian Lama, khu-susnya kitab Yer. 31:31-34. Sepintas, ketika kami membaca teks ini, kami merasa ada sesuatu yang menarik untuk ditelaah dan setidaknya menam-bah wawasan kami tentang Kitab Suci. Hal yang menarik dalam teks ini, di sana kami menemukan kata perjanjian “baru.” Muncul sebuah pertanyaan dalam diri kami, apa arti atau makna dari kata perjanjian baru itu sendiri dalam teks Yer. 31:31-34; dan pesan teologis apa yang hendak ditawarkan dari kata itu melalui dunia tekstual Perjanjian Lama ini? Inilah yang kiranya menjadi latar belakang dalam penafsiran teks Yer. 31:31-34 ini.

2. Rumusan Masalah
Setelah melihat latar belakang masalah yang dideskripsikan di atas, karya tulis ini dibuat untuk memahami dan mempelajari apa yang menjadi pesan teologis dan makna dari kata “perjanjian baru” dalam lingkup peri-kop Yer. 31:31-34 ini. Rumusan masalah ini, sekaligus juga menjadi fokus penelaahan kelompok terhadap perikop Yer. 31:31-34.

3. Tujuan Penulisan
Setiap usaha yang dikerjakan, tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Karena itu, karya tulis ini pun ditulis untuk meraih tujuan tertentu yang dapat mengembangkan hidup kami. Adapun yang menjadi tujuan dari karya tulis ini, yakni:
1. Memperoleh pengertian dan pemahaman secara luas dan mendalam tentang perikop yang dibahas [Yer.31:31-34].
2. Mendapatkan pesan teologis yang terkandung di dalam perikop yang dibahas [Yer.31:31-34].
3. Mengetahui relevansi-relevansi yang terkait dengan perikop yang di-bahas [Yer.31:31-34].
4. Dengan mengetahui pesan teologisnya, menjadi langkah awal untuk membangun sikap yang baik dan benar, dalam berelasi dengan Allah. Sehingga iman, harap dan kasih kepada-Nya semakin diteguhkan.
5. Sebagai seorang mahasiswa, penafsiran teks Yer. 31:31-34 ini kiranya da-pat memberikan kontribusi yang berharga bagi kami, khususnya dapat mengembangkan kemampuan kami untuk mendalami dan membaca teks kitab suci secara kritis.
6. Memenuhi tugas akademik [tugas kelompok] mata kuliah kitab Nabi-Nabi, semester IV di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

4. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Penulisan karya tulis ini mempunyai implikasi bagi kelompok dalam rangka belajar menafsirkan teks Kitab Suci secara konprehensif.
2. Penulisan karya tulis ini bermanfaat bagi kelompok dalam rangka memberikan informasi dan wawasan tentang inti pokok pewartaan atau pesan teologis teks Yer. 31:31-34.
3. Penulisan karya tulis ini juga bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Kitab Nabi-nabi pada semester ini.
4. Akhirnya, melalui tulisan ini diharapkan berguna bagi siapa saja yang membacanya, dalam hal menambah wawasan tentang penafsiran Alki-tab, khususnya berkenaan dengan penafsiran perikop Yer. 31:31-34.


5. Metode

1.3.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam karya tulis ini ialah penelitian kepustakaan. Dalam penelitian ini, kelompok berupaya menemukan pandangan-pandangan, teori-teori dan informasi-infor-masi dari para ahli seputar perikop yang kami bahas dari berbagai literatur, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris, misalnya buku-buku komentar tentang kitab suci yakni The New Je-rome Bible Commentary, The Collegville Bible Commentary, dan sebagai-nya; artikel-artikel dalam CBQ, maupun buku-buku karya editorial.

1.3.2. Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang dipakai ialah metode Kritik Sastra [Literary Chriticism] in sensu lato dan in sensu stricto. Melalui kritik sastra in sensu lato, kelompok mempelajari masalah-masalah berkaitan dengan kepengaranan, saat dan tempat penulisan, penerima, gaya bahasa, sumber-sumber penulisan, keutuhan dan tujuan dari karya sastra.[1] Sedangkan melalui Kritik sastra in sensu stricto, kelompok berupaya mempelajari permasalahan seputar komposisi, struktur, konteks teks dan gaya bahasa teks Yer. 31:31-34. Dengan demikian, pendekatan yang dipakai ialah diakronik sekaligus sinkronik.

1.3.3. Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan karya tulis ini, ialah analitis-deskriptif. Melalui metode ini, kelompok mencoba mendeskripsikan perikop ini berdasarkan pandangan para ahli dan data-data yang diperoleh dari pelbagai sumber kepustakaan. Sedangkan bagian analisanya, kelompok mencoba membuat sintesis terhadap pandangan-pandangan tersebut, yang kemudian dikom-parasikan dengan pandang kelompok berdasarkan pendalaman materi melalui literatur-literatur.

6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisannya diawali dengan bagian pendahuluan. Bagian pendahuluan berisi latar belakang penulisan, perumusan masalah, metode penafsiran, tujuan dan kegunaan penulisan serta sistematika penulisan. Bab I, berbicara seputar latar belakang (background) perikop Yer.31:31-34; Yeremia, siapakah dia? Proses peredaksian kitab Yeremia, penulisan kitab Yeremia, gaya bahasa dan jenis sastra kitab Yeremia. Pendekatan yang umumnya dipakai untuk memaparkan bagian ini ialah pendekatan diakronik. Pada bagian ini pula, ditawarkan delimitasi teks Yer.31:31-34, bagian ini dibuat sebagai upaya untuk memahami mengapa perikop yang kita bahas disebut sebagai perikop, mengingat dalam Alkitab terjemahan LAI dan LBI, bagian ini dilihat sebagai isi dari perikop Yer. 31:1-40.
Bab II merupakan bagian dari analisa literer. Bab ini meliputi [1] konteks teks yang di dalamnya ada konteks jauh, konteks dekat (perikop yang mendalului dan yang mengikuti), dan konteks kitab; [2] divisi perikop Yer. 31:31-34. Dalam membuat divisi perikop, kelompok membuat divi-si perikop menurut kelompok. Divisi perikop ini menjadi penuntun untuk membuat analisa literer. [3] komposisi perikop Yer. 31:31-34; upaya untuk menentukan bagian yang terpenting dari perikop; [4] analisa literer perikop Yer. 31:31-34; suatu upaya untuk membantu kelompok berpikir kritis-analitis dalam memahami perikop, sebagai dasar memberikan penafsiran yang benar, dalam rangka mempertanggungjawabkan divisi yang dibuat kelompok Pendekatan yang dipakai untuk memahami perikop ialah pendekatan sinkronik dan juga diakronik.[2] Kemudian, pada bab III akan dipaparkan pesan teologis yang meliputi [1] pesan teologis perikop Yer. 31:31-34; [2] relevansi teologis Yer. 31:31-34 dalam Teologi Kristiani yang terjabar dalam segi Kristologi, Pneumatologi, Eklesiologi, Soteriologi, Eskatologi dan Sakramentologi; suatu upaya memahami teks Perjanjian Lama dalam kacamata Perjanjian Baru. Akhirnya, dibuatlah penutup sebagai kesimpulan dari seluruh penulisan.


BAB I
BACKGROUND PERIKOP YER. 31:31-34
DALAM KITAB YEREMIA
[3]


Untuk memahami latar belakang perikop Yer. 31:31-24 ini, pertama-tama kita perlu juga memahami dan mengetahi apa yang menjadi latar belakang dari kitab Yeremia itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak kehilangan konteks untuk memahami isi teks dari Yer. 31:31-34, karena teks ini juga merupakan bagian dari hasil peredaksian yang terdapat dalam kitab Yere-mia. Supaya kita tidak kehilangan konteks dalam mengkaji teks ini, maka kita perlu untuk me-ngetahui hal-hal sebagai berikut, yakni tentang siapakah Yeremia, proses peredaksian kitab Yeremia, penulis kitab Yer. 31:31-34, sumber-sumber yang dipakai dalam penulisan sastra dan gaya bahasa yang digunakan, serta delimitasi perikop Yer. 31:31-34. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat pada uraian berikut ini.

1. Yeremia, Siapakah Dia?
Nabi Yeremia hidup pada zaman pemerintahan raja Yosia [639-609 SM]. Ketika itu Yehuda mengalami masa damai dan ketika raja, para Imam dan umat terlibat dalam pembaharuan iman serta ibadat musa. Ia meninggal sekitar tahun 508 SM, sebagai seorang buangan di Mesir pada zaman yang sangat buruk.[4] Ketika Yehuda tidak lagi menjadi sebuah bangsa. Yerusalem tinggal puing-puing, kenisah dibakar habis sampai rata dengan tanah; dan orang-orang Yahudi dibuang ke Babel.[5] Hidupnya melingkupi kurun waktu 20 tahun terakhir kekuasaan Asyur [dihancurkan bangsa Babel antara tahun 612 SM dan 605 SM] dan 20 tahun pertama ke-kuasaan Babel [605-539 SM]. Ia dapat disebut sebagai ”manusia segala zaman.”
Dari antara nabi Israel, Yeremialah yang diketahui dengan baik riwa-yat hidupnya kalau berita yang dapat kita lihat pada Yer. 1:4-dst; 19:1-20, 20:6; 36; 45; 28-29; 51:59-64; 34:8-22; 37-44, dibaca secara berurutan. Akan tetapi ada juga ahli lain yang berpendapat bahwa Yeremia sebagaimana yang ditampilkan dalam kitabnya bukanlah “Yeremia historis.” Menurut mereka, gambaran nabi yang ada kitab tersebut merupakan ciptaan mereka yang menyusun kitabnya. Pendapat ini agaknya terlalu hipotesis dan tidak dapat dibuktikan, boleh jadi penyusunan kitab Yeremia untuk “memperindah” Yeremia historis.[6] Nabi Yeremia historis dilahirkan di Anatot, beberapa mil di sebelah utara Yerusalem dari golongan keluarga imam[7] dan dipanggil untuk tugas kenabian, ketika ia masih muda [na’ar] pada tahun 626 SM.[8] Ia menjalani tugas kenabiannya selama 40-an tahun yang berawal dari zaman pembaharuan keagaamaan di Yehuda pada tahun 626-609 SM; tiga kali peperangan yakni melawan Mesir, 609 SM, melawan Babel, 597 dan 587 SM; tiga kali pembuangan pada tahun 597, 587, dan 582 SM, yang berakhir pada pergantian lima raja keturunan Daud, yakni Yosia [639-609 SM], Yoakhas se-lama tiga bulan pada tahun 597 SM, dan Zedekia, 597-597 SM. Selama tahun-tahun itu, Yehuda berada dalam periode paling cemerlang dalam sejarahnya [dibawah pemerintahan raja Yosia dari tahun 639-609 SM] sampai ke zaman yang paling kelam [609-587], dalam keseluruhan 443 tahun pemerintahan wangsa Daud [1025-587 SM].[9]
Yeremia adalah salah seorang nabi yang sungguh-sungguh mau terlibat dalam masalah yang dihadapi oleh bangsanya, ketika mengalami situasi genting saat kota Yerusalem dikepung oleh bangsa Babel untuk yang pertama kalinya tahun 597 SM dan untuk yang kedua kalinya tahun 587 SM. Pada peristiwa ini ia menyaksikan sendiri Kenisah dihancurkan, Yerusalem ditinggal-kan, penduduknya dibuang ke Babel, sedangkan ia sendiri akhirnya dibuang ke Mesir dan me-ninggal di sana sekitar tahun 580 SM, karena dilempari batu oleh bangsanya sendiri. Sebenar-nya Yeremia tidak ingin menjadi seorang nabi. Baginya tugas kenabian pasti mendatangkan ke-kacauan, sedangkan ia sendiri menginginkan kedamaian. Namun akhirnya, ia tetap menaggapi panggilan Tuhan sebagai wujud ketaatannya kepada Tuhan dan kecintaanya terhadap bangsa-nya,[10] kendatipun ia sering merasa putus asa dan menganggap tugas pelayanannya itu sia-sia saja.[11]
Nabi Yeremia juga adalah satu-satunya dalam sejarah Israel yang menyerupai Yesus. Para-lelismenya dapat dilihat pada tindakan dan sikap hidup seperti: Yesus mengajar dalam perum-pamaan, begitu pula Yeremia; Yesus menangisi bangsa-bangsa-Nya, begitu juga Yeremia; Yesus di dera, dimasukkan ke dalam penjara, diadili, demikian halnya dengan Yeremia. Akhirnya tra-gedi Yerusalem di zaman Yesus paralel dengan zaman Yeremia. Yesus menubuatkan kehan-curan Kenisah oleh bangsa Roma. Sedangkan Yeremia menubuatkan kehancuran Yerusalam dan Kenisah oleh bangsa Babel. Pada setiap kasus, nubuat-nubuat tersebut terpenuhi: tahun 587 SM oleh orang Babel; tahun 70 oleh orang Romawi. Yeremia menyerupai Yesus dalam begitu ba-nyak hal, sehingga orang-orang Yahudi di zaman Yesus me-ngira jangan-jangan Yesus adalah Yeremia yang datang kembali dari kematian.[12] Kendati serupa, mereka tetaplah berbeda.[13]

2. Proses Peredaksian Kitab Yeremia
Menurut catatan sejarah, sekitar tahun 605/604 SM dalam persem-bunyiaannya, Yeremia mendiktekan kepada Barukh sekretarisnya, nubuat-nubuat yang ia khotbahkan selama 23 tahun sebagai nabi.[14] Kemudian pada tahun 604 SM, Barukh membacakan nubuat-nubuat ini di Bait Suci. Pada momen inilah raja Yoyakim membakar manuskrip Yeremia.[15] Setelah peris-tiwa itu, Yeremia mendiktekan sekali lagi kepada Barukh apa yang pernah dinubuatkannya dahulu dengan sedikit penambahan, maka dihasilkan se-buah gulungan Kitab yang baru.[16] Para ahli yakin bahwa sebagain besar dari manuskrip yang kedua ini dilestarikan dalam bab 1-20, dan bab 25 adalah konkulsi dari manuskrip yang ditulis pada tahun 604. Sisa dari kitab ini [bab 26-52] berisikan bahan-bahan biografis mengenai nabi Yeremia [bab 26-45], kumpulan nubuat melawan bangsa-bangsa kafir [bab 46-51], dan bab terakhir [bab 52] diambil dari 2 Raj. 25.[17]
Mengenai bagaimana Kitab ini disusun dalam bentuknya yang terakhir, sampai saat ini para ahli masih agak sukar untuk menentukannya, dengan alasan bahwa nubuat-nubuat itu tidak disusun menurut waktu [secara kronologis], melainkan menurut bahan pokoknya. Hal ini agak me-nguatkan pendapat bahwa catatan-catatan itu merupakan nubuat-nubuat yang diucapkan oleh Yeremia pada beberapa waktu, yang kemudian dikumpulkan pada waktu kegoncangan dan bahaya menjelang runtuhnya kerajaan, supaya tidak hilang.[18]
Kembali lagi pada topik kita, sebagimana yang telah disinggung di atas, bahwa hal yang mem-binggungkan pembaca Yeremia adalah kurangnya urutan kronologis dalam kitab ini. Penge-pungan Yerusalem pada tahun 588-587 SM disebut pertama kali dalam bab 21. Namun, dalam bab 25, pembaca kembali ke tahun 604 SM. Hal demikian kerapkali terjadi. Lantas, bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Penjelasan terbaik ialah bahwa penyunting kitab-kitab kenabian meng-hadapi bermacam-macam koleksi material mengenai khotbah-khotbah Yeremia, cerita-cerita mengenai dia, dan kisah-kisah sejarah pada saat-saat terakhir Yehuda. Mereka mempunyai ma-nuskrip pada tahun 604 SM, bersama dengan koleksi nubuat melawan raja-raja Yehuda [bab 21-23] dan melawan nabi-nabi palsu.[19] Sebagai tambahan mereka juga mengoleksi nubuat mengenai perjanjian baru [30-33], koleksi besar bahan-bahan biografis[20] dan sebuah koleksi nubuat Yeremia melawan bangsa-bangsa kafir.[21]
Dapatlah dimengerti, proses menempatkan semua bahan ini dalam urutan kronologis, suatu usa-ha yang sangat sulit, mereka mengurutkannya begitu saja dan secara tematis, sehingga keja-dian-kejadian yang disebut lebih dahulu dalam suatu koleksi kadang-kadang diulangi lagi dalam koleksi bahan lain. Sebuah contoh dari kerancuan ini adalah khotbah Yeremia di kenisah yang terkenal itu. Yeremia memberikan khotbahnya dalam bab 7 dan 8; seseorang memberikan versi yang singkat dalam bab 26. Ini semua kalau boleh disebutkan demikian merupakan kesalahan dari penyuntingan abad ketiga. Kendati demikian, intinya ialah bagaimana kita membaca pe-san dari masing-masing koleksi ini.[22]

3. Penulis Kitab Yeremia
Ketika kita membaca secara sepintas kitab Yeremia, pada bagian pembuka dari kitab ini ada bukti yang cukup jelas menyatakan bahwa Kitab Yeremia adalah “perkataan-perkataan Yeremia” [Yer. 1:1] sendiri. Selain itu, ada pula bagian-bagian tertentu yang dapat mendukung keterangan sebelumnya. Misalnya terdapat ucapan-ucapan seperti, “Firman yang datang kepada Yeremia dari pada Tuhan” [Yer. 7:1], atau “Firman Tuhan yang datang kepada Yere-mia” [Yer. 14:1]. Nubuat-nubuat tersebut ditulis oleh Barukh, rekan dan sekretaris Yeremia.[23]
Adanya nubuat-nubuat seperti yang terungkap di atas, mengundang suatu persoalan bagi para penafsir Kitab Suci. Persoalan yang dihadapi, apakah seluruh kitab Yeremia ini seutuhnya ditulis oleh Yeremia bersama dengan sekretarisnya, Barukh, ataukah hanya menulis beberapa bagian tertentu dari kitab ini, mengingat bahwa adanya perbedaan-perbedaan gaya penulisan, gaya bahasa dan yang lainnya yang dapat ditunjukkan pada pe-rikop-perikop tertentu. Misalnya, Yeremia 10, teks ini dengan pikiran dan corak tulisannya, mengingatkan kita akan Yes. 40-55; beberapa nubuat tentang bangsa-bangsa asing dalam Yer. 46-51,[24] dan teks Yer. 30-33; yang di dalamnya terdapat teks Yer. 31:31-34 yang akan dibahas secara mendalam pada tulisan ini. Khusus teks 30-33, berdasarkan literatur yang kami peroleh, sebagian besar ekseget menduga, yang menulis teks tersebut bukanlah nabi Yeremia, melainkan seorang murid dan pengagum Yeremia [Pseudo-Yeremia] yang menyusun sebuah Kitab Penghiburan. Kitab Penghiburan itu sendiri meliputi Yer. 30-33. Kitab ini bertemakan tentang Exodus Baru, Palestina Baru yang mekar bagaikan Firdaus di bumi, tentang suatu fakta baru yang mendasar pada penciptaan ma-nusia baru yang akan memiliki hukum dalam hatinya dan bebas dari setiap dosa dan kejahatan.[25] Tentang kapan penulis kitab ini hidup, kami tidak menemukan keterangan mengenai hal itu. Yang pasti ialah ia hidup jauh sesudah Yeremia.
Selain itu, ada pula persoalan kritis lainnya yang berkenaan dengan penyuntingan kitab ini. Ada ahli yang beranggapan bahwa setelah Baruk menyelesaikan bentuk dasarnya, seorang penyun-ting deuteronomistik dianggap mengerjakan kembali kitab itu. Penyunting ini dianggap me-nyusun perikop-perikop berbentuk prosa yang menekankan kepada Taurat.[26] Meskipun penyuntingan seperti ini bisa saja terjadi, namun sangat mungkin pula Barukh sendiri memberi bentuk akhir pada tulisan-tulisan ini. Bila saja perkembangan gaya prosa Ibrani lebih banyak di-ketahui, maka apa yang disebut “gaya deuteronomistik” mungkin dapat dilihat sebagai gaya prosa yang biasa dari abad ke-7 dan ke-6 SM.[27]
Kesimpulannya ialah sulit untuk memastikan apakah nabi Yeremia adalah penulis seluruh kitab Yeremia dalam bentuknya sekarang, yang masih dipersoalkan para ekseget, karena ada bebe-rapa faktor tertentu; atau juga untuk membenarkan apakah asumsi/spekulasi para ahli itu benar adanya. Yang pasti bahwa seorang nabi yang melayani dalam jangka waktu yang panjang di tengah-tengah keadaan yang berubah dan mengetahui dengan saksama berita dari nabi-nabi lain dapat memperlihatkan banyak variasi dalam isi nubuat dan cara penyampaiannya. Kita ti-dak dapat membatasinya secara kaku, baik dari segi corak maupun dari isi pemberitaanya.

4. Gaya Bahasa dan Jenis Sastra Kitab Yeremia
Teknik -retorika- [gaya bahasa], biasanya digunakan oleh pengarang kuno dalam naskahnya, dalam hal menunjang usaha penjelasan dan pemahaman pesan naskah maupun memberi kesan mendalam pada pembaca sekaligus pendengarnya. Jika didefinisikan, maka gaya bahasa merupakan ge-jala bahasa yang ada pada tulisan atau ucapan yang menjadi ciri khasnya atau pun diciptakan untuk menimbulkan kesan atau efek tertentu pada pendengar atau pembacanya. Tujuannya ialah untuk membantu para pem-baca atu pendengar agar mereka lebih gampang memahami isi pesan yang terkandung di dalamnya dan mudah diingat; bahkan dalam nuansa perfor-matif, kesan atau efek tertentu akan mendorong orang untuk mengintegra-sikan pesan itu dalam dirinya dalam mengambil sikap sesuai dengan nilai yang ditawarkan melalui pesan yang disampaikan.[28]
Begitu pula dengan Kitab Yeremia. Lebih daripada semua nabi lain-nya dalam Perjanjian Lama, Kitab Yeremia menggunakan beraneka ragam gaya bahasa maupun bentuk sastra dan memperlihatkan keterampilannya. Para ahli berpendapat bahwa umumnya jenis sastra yang digunakan oleh Yermia ialah puisi dan prosa. Kedua jenis sastra ini biasa digunakan dalam keadaan utuh pada suatu teks, misalnya dalam satu teks tertentu keseluruh-an isinya berbentuk puisi[29] atau pun prosa;[30] dan ada pula digunakan saling disisipkan antara satu dengan yang lain.[31] Dalam perpaduan yang luar bia-sa itu antara bentuk dan isinya, puisi maupun prosa Yeremia memiliki ke-kuatan dan simpati. Berita yang harus disampaikan Yeremia – kehancuran dan pengharapan seruan bertobat, pengakuan akan pergumulan pribadi – memang paling tepat diungkapkan dengan cara demikian. Karena dengan cara demikian, Yeremia mau menampilkan pesan yang menarik dan segar, yang memberi daya hidup, semangat dan ketegasan yang membara bagi siapa saja yang membaca perkataan-perkatannya.
Oleh karena bentuk sastra Kitab Yeremia sebagian besar berupa puisi dan sebagian kecil berupa prosa. Maka gaya bahasa yang paling penting dalam sastra Ibrani ialah yang disebut parallelisme.[32] Yang dimaksudkan de-ngan parallelisme ialah kesejajaran kata, suku kata, frase, kalimat, atau baris bahkan perikop. Menurut Roberth Lowh, parallelisme dalam sastra Ibrani lebih menggunakan irama logis yang menunjuk perimbangan dalam pemi-kiran. Irama logis itu bisa berupa sinonim,[33] antitesis,[34] atau sintesis,[35] yang sekaligus menunjukkan jenis-jenis paralellisme yang kerap kali dijumpai dalam puisi atau prosa orang Ibrani.[36]
Menurut Sigmund Mowinckel, setidaknya ada 3 jenis bentuk kesus-teraan dalam Kitab Yeremia. Hal ini mengindikasikan bahwa kitab Yere-mia mungkin ditulis dari 3 sumber yang berbeda. Adapun 3 jenis bentuk kesusteraan tersebut yakni pertama Amsal Yeremia, yang lebih berupa puisi, [“sumber A”]; kedua, prosa tentang Yeremia dengan kata ganti orang ketiga [“sumber B”]; dan ketiga khotbah-khotbah Yeremia dalam usaha sastra Deuteronomis, yang lebih berupa prosa dengan kata ganti orang pertama [“sumber C”].[37] Karakteristik dari sumber ini ialah adanya kecenderungan dalam pengulangan kata-kata atau frase, sehingga gaya bahasa yang ditam-pilkan sangat monoton. Akan tetapi, dari perspektif pembaca modern, pe-ngulangan kata-kata atau frase yang digunakan oleh Yeremia dilihat seba-gai perluasan dan peneguhan.[38] Berbeda dengan pandangan William L. Holladay. Ia berpendapat bahwa tidak selalu gaya bahasa dari “sumber C” terdapat pengulangan dalam hal penggunaan kata-kata atau secara fraseo-logi seperti yang dipahami secara umum.
Dalam lingkup perikop Yer. 31:31-34 khususnya, sebagian besar pa-ra ahli berpendapat bahwa teks ini merupakan sebuah prosa beraliran deute-ronomistik. Pandangan ini didukung misalnya Robert M. Peterson yang me-nyatakan demikian:

Dalam bentuknya yang sekarang perikop ini disusun oleh orang Deuteronomis selama masa pembuangan di Babel. “Rumus perjanjian” itu lazim dipakai dalam prosa yang bersifat deuteronomistis dalam Kitab Yeremia, dan istilah dan ajaran perikop ini berhubungan erat dengan Ul. 6:6; 30:5-6, 14.[39]

Asumsi di atas juga didukung oleh ahli lain, yakni Siegfred Herman dan Winfried Thiel yang memperkenalkan dengan penuh keyakinan serta memutuskan bahwa teks Yer. 31:31-34 itu merupakan bagian dari deutero-nomium. Di lain pihak, ada pula sebagian ahli lain yang menghadapi per-soalan untuk menentukan apakah teks ini merupakan murni prosa ber-aliran deuteronomistik. Persoalan ini misalnya dihadapi oleh J. Philip Hyatt dan John Bright yang secara terpisah merima permasalah “sumber,” me-nyangkut apakah prosa ini sungguh-sungguh bersumber dari tradisi deu-teronomistis, karena mereka lebih memperhitungkan isinya sebagai per-kataan autentik nabi. Begitu pula yang dihadapi oleh Konrad Schmid yang mendeklarasikan bagian deuteronomium-deuteronomium hanya dalam ta-raf fraseologinya, tetapi dalam menentukan isinya ia memperkirakan amat-lah sulit untuk mencocokkan Deuteronomium dan literatur yang ada di da-lamnya. Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa bagian itu ditambahkan pada Kitab sekitar akhir abad IV SM. Menanggapi masalah di atas, William L. Holladay, memberikan analisanya bahwa perikop Yer. 31:31-34, terdiri dari dua jenis sastra yakni ay. 31-33a berupa prosa, dan 33b-34 merupakan puisi.[40] Berdasarkan argumen ini, ia menawarkan dua bentuk divisi, yakni divisi perikop ay. 31-33aα dengan menerapkan teori chiasme,[41] dan divisi teks ay. 33aβ-34 berdasarkan sistem lajur dalam puisi. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada keterangan di bawah ini:
Divisi I: Yer. 31: 31-33aα berdasarkan teori chiasme
Ay. 31a: A : Sesungguhnya, akan datang waktunya
Ay. 31b: B : Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda
Ay. 32aα: C : tak seperti pengajaran yang telah kuadakan dengan nenek moyang mereka
Ay. 32aβ: D : Pada waktu aku memegang tangan mereka keluar dari tanah Mesir
Ay. 32b: C’: Perjanjianku itu telah mereka ingkari, meskipun aku adalah tuan mereka
Ay. 33aα; B’: Tetapi inilah perjanjian yang kuadakan dengan kaum Israel
A’: Setelah waktu itu
Dari keterangan di atas, nampak bahwa A dan A’ menawarkan “waktu/hari,” dan selingan D juga menawarkan unsur yang sama yaitu “waktu;” tetapi lebih merujuk pada waktu dalam sejarah keselamatan bang-sa Israel: “aku memegang tangan mereka keluar dari tanah Mesir.” Empat baris selanjutnya, B, C, C’ dan B’ semuanya menunjukkan tema “perjanjian”; akan tetapi penekanannya berbeda. B dan B’ menawarkan perjanjian yang diadakan dengan orang pertama tunggal dari ברת, yang merujuk pada frase “bangsa Israel,” sebagai referensi pengadaan perjan-jian baru. Sementara C dan C’ menunjuk pada perjanjian yang diadakan dengan “nenek moyang” mereka.
Berbeda dengan bagian kedua ay. 33aβ-34 yang berbentuk puisi, teks ini dibagi berdasarkan sistem lajur yang lengkap, sebagai berikut:
Divisi II: Yer. 31: 33aβ-34, berdasarkan sistem lajur bicolon [dua baris] dan tricolon [tiga baris]: [42]
Ay. 33 aβ: Aku akan menaruh tauratku dalam batin mereka,
Dan menuliskannya dalam hati mereka
Ay. 33b: Aku akan menjadi Allah Mereka,
Dan mereka akan menjadi umat-Ku.
Ay. 34a: Tidak usah lagi orang mengajar
sesamanya atau saudaranya
dengan mengatakan: “Kenalilah YHWH!”
Ay. 34 bα: karena mereka semua mengenalku,
Yang kecil maupun yang besar (firman Tuhan)
Ay. 34bβ: Aku akan mengampuni kesalahan mereka
Dan tidak mengingat dosa mereka lagi.

Dari keterangan di atas, nampak, pada bait pertama dan terakhir bicolon [33aβ dan 34bβ] seimbang, dengan penggunaan kata kerja dalam kata ganti orang pertama yakni [“saya akan menaruh,” “saya akan menulis-kannya,” “saya akan mengampuni,” “saya akan mengingat”], dan dilengkapi dengan akhiran dalam kata ganti orang ketiga jamak [“dalam batin me-reka”, “dalam hati mereka”, “kesalahan mereka”, “dosa mereka”]; dan di da-lam setiap bicolon itu, kata kerja-kata kerja dan pelengkap-pelengkapnya diatur secara ciastikal.
Serentak pula, semuanya tidaklah simetris. Dua bicola terakhir dimu-lai dengan kata בי. Pada bicolon kedua ay. 33b, terdapat formula perjanjian tradisional yang berdiri sendiri. Penegasan ini menunjukkan, terjadinya perkembangan dari penggunaan kata ganti orang pertama tunggal ke kata ganti orang ketiga jamak secara chiastikal, yakni [“Aku akan menjadi,” “bagi mereka,” “mereka akan menjadi,” “bagi-Ku”], seimbang dengan bicolon pada bait keempat [ay. 34bα] yang nampak dalam peng-gunaan kata ganti orang ketiga jamak dan kata ganti orang pertama tunggal [“mereka semua,” “aku”]. Selanjutnya, secara lebih mendasar tricolon pada ay. 34a dan dua bicolon terakhir ay. 34bα-34bβ disusun se-cara chiastikal: dengan catatan “bukan” terdapat dalam baris pertama tricolon ay. 34a dan dalam baris kedua pada akhir bicolon ay. 34bβ; Pola chiastical, terdapat pada serentetan penggunaan kata benda dalam baris kedua pada tricolon ay. 34a dan baris kedua pada bicolon ay. 34bα, yakni [“sesamanya,” “saudaranya,” “kecil,” “besar,”]; dan kata “mengenal” terda-pat dalam baris terakhir tricolon [ay. 34a] dan pada baris pertama dari bicolon bait berikutnya [ay. 34bα].

5. Delimitasi Perikop Yer. 31:31-34
Pada bagian delimitasi [pembatasan] Perikop ini, kita akan meng-analisa secara ilmiah mengapa perikop Yer. 31:31-34, berawal dari ay. 31 dan berakhir pada ay. 34. Dengan, menentukan batasan perikop ini, kita dapat memahami dinamika dan ciri khas dari perikop ini, sebagai sebuah perikop yang berdiri sendiri.
Dalam menentukan batasan awal dan akhir perikop ini, kami akan membuat penganalisaan dengan cara yakni kami akan mentukan batasan awal melalui keterangan perikop yang mendahuluinya, dan batasan akhir melalui keterangan perikop yang mengikutinya. Cara ini akan ditunjang de-ngan argumen-argumen yang bersifat ilmiah, sehingga dapat dipertang-gungjawabkan. Namun, sebelum kita masuk pada pembahasan kita, terle-bih dahulu kita akan melihat keseluruhan struktur Kitab Yeremia untuk mengetahui “posisi” perikop Yer. 31:31-34 di dalamnya, sehingga kita me-miliki -basic- untuk melakukan analisa pembatasan.
Dalam literatur-literatur yang kami pelajari, terdapat begitu banyak teori mengenai struktur Kitab Yeremia secara keseluruhan.[43] Tentunya, ma-sing-masing teori tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Pada pembahasan ini, kami mengangkat salah satu teori yakni menurut J.A. Thompson dalam bukunya The Book of Jeremiah. Berikut ini kami paparkan strukturnya:[44]
Bagian
Tema
Bab - Ayat

Superscription
1:1-3
I
The Call of Jeremiah and the Two Visions
1:4-19
II
The Divine Judgment on Judah and Jerusalem
2:1-25:38
III
Jeremiah’s Controversy with False Prophets
26:1-29:32
IV
The Book of Consolation
30:1-33:26
V
Incidents form the Days of Jehoiakim and Zedekiah
34:1-39:18
VI
Jeremiah’s Experinces after the Fall Jerusalem
40:1-45:5
VII
Oracles Againts the Nations
46:1-51:46
VIII
Appendix – The Fall of Jerusalem
52:1-34
Tabel 1.0.
Berdasarkan struktur di atas, nampak bahwa perikop Yer. 31:31-34 ber-kedudukan pada bagian keempat dengan tema Kitab Penghiburan [The Book of Consolation]. Sehingga “block” 30:1-33:26 merupakan satu kesatuan yang berkesi-nambungan [connected sequence] Jika dijabarkan kembali maka tema Kitab Penghiburan yang berkedudukan pada “block” 30:1-33:26 memiliki struktur sebagai berikut:[45]
Bag.
Tema
Bab - Ayat
A
The Restoration of Israel and Judah [30:1-31:40]
i. Supercription
ii. Jacob’s Distress and Deliverence
iii. The Healing of Zion’s Wounds
iv. The Restoration of Jacob
v. The Divine Judgment: A Fragment
vi. Fruther Promises to Ephraim and Judah
vii. Israel’s Homecoming
viii. The End of Rachel’s Mourning
ix. The Restoration of Judah
x. Two Short Sayings
xi. The New Covenant
xii. The Inseparable Bond between Yahweh and Israel
xiii. The New Jerusalem

30:1-3
30:4-11
30:12-17
30:18-22
30:23-24; 31:1
31:2-6
31:7-14
31:15-22
31:23-26
31:27-30
31:31-34
31:35-37
31:38-40
B
The Restoration of Judah dan Jerusalem: A Prose Collection [32:1-33:26]
i. Jeremiah’s Purchase of Land at Anathoth
ii. Jeremiah’s Prayer
iii. Yahweh’s Replay to Jeremiah
iv. Yahweh’s Replay, Continued
v. Jerusalem and Judah Restored
vi. The Dynasty of David and the Levitical Prisests

31:1-5
32:1-15
32:26-35
32:36-44
33:1-13
33:14-26
Tabel 1.1.

Dari tabel di atas, tampak bahwa perikop Yer. 31:31-34 [New Cove-nant], berada pada bagian tema The Restoration of Israel and Judah [Yer. 30:1-31:40] yang memiliki teks-teks “yang mendahului” [urutan i-x] dan “yang mengikuti” [urutan xii-xiii]. Dengan demikian perikop Yer. 31:31-34 memiliki keterkaitan yang erat dengan teks sebelum dan sesudahnya; seperti tampak pada tabel berikut:
Tema
Bab - Ayat
Two Short Sayings
31:27-30
The New Covenant
31:31-34
The Inseparable Bond between Yahweh and Israel
31:35-37

Tabel 1.2.
Dari apa yang kami paparkan di atas, perikop Yer. 31:31-34 me-miliki hubungan yang sangat dekat dengan perikop yang mendahului Yer. 31:27-30 dan perikop yang mengikuti Yer. 31:35-37. Berdasarkan keterangan tersebut, kita akan melihat “batas awal” dan “batas akhir” dari perikop Yer. 31:31-34.

1. Awal Perikop “The New Convenant” [Yer. 31:31]
Awal perikop “The New Covenant” dapat dianalisa degan dua pem-buktian argumen berikut ini:
[1] melalui perikop sebelumnya, yakni perikop “Two Short Sayings” [Yer. 31:27-30]. Perikop ini bertemakan dua hal pokok yakni pada ay. 27-28, berbicara tentang pengabaran bahwa Allah akan mengadakan penciptaan manusia baru. Pengabaran ini menjadi inti pokok tugas perutusan Yere-mia [bdk. Yer. 1:10]. Sedangkan pada ay. 29-30,[46] berbicara tentang sikap Yeremia dalam hal meyakinkan orang Israel bahwa Allah akan mengha-kimi mereka sesuai dengan perbuatan mereka, bukan menurut dosa-dosa yang dibuat oleh nenek moyang mereka, yang kejahatannya telah men-datangkan kehancuran dan pembuangan bagi bangsanya.[47] Apabila kita perhatikan dengan saksama ayat 29-30 ini, ada dua kemungkinan gaya bahasa [rhetorical style] yang dipakai yakni pertentangan kalimat atau parallelisme antitetik, yang dapat ditunjuk dengan kata “melainkan.” De-ngan demikian, ay. 30 memiliki hubungan yang erat dengan ay. 29, karena menjadi kalimat pertentangan yang isinya kontras dengan ay. 29. Konsekuensinya ialah ayat selanjutnya, merupakan pokok yang baru dan itu adalah awal dari perikop “The New Covenant” yang menampilkan perjanjian baru yang Allah buat kepada Yeremia untuk bangsa Israel dan semua bangsa. Nubuat yang ditampilkan pada ay. 27-30 menjadi latar-belakang dari perjanjian baru yang diadakan oleh Allah.
Two Short Sayings
Yer. 31:29-30
The New Covenant
Yer. 31:31
29 Pada waktu itu orang tidak akan berkata lagi:
Ayah-ayah makan buah mentah,
dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu,
30 melainkan: setiap orang akan mati karena kesalahanya sendiri;
setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sendiri menjadi ngilu.
31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
Tabel 1.3.
[2] Penggunaan kalimat “Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan,” pada permulaan perikop [ay. 31a], menunjukkan adanya suatu pokok yang lain dari perikop sebelumnya. Dalam kitab Yeremia, seringkali kita menemukan penggunaan motif kalimat seperti yang terdapat pada ay. 31 ini; dan motif yang sama juga digunakan misalnya pada ay. 27. Mungkin motif ini digunakan oleh redakor Yeremia untuk mengawali tema baru yang berbeda dengan tema sebelumnya.

2. Akhir Perikop “The New Convenant” [Yer. 31:34]
Akhir perikop “The New Covenant” bisa dianalisa dengan dua pem-buktian argumen sebagai berikut:
[1] bertitik tolak dari pandangan para ahli umumnya, bahwa teks ini berupa tampilan sastra prosa deuteronomis. Prosa ini menampilkan ung-kapan keyakinan-keyakinan Yeremia yang mendasar selama hidupnya, bahwa Tu-han akan memperbaiki kelemahan dan kejahatan bangsa pilih-an-Nya, akibat ketidaktaatan mereka akan perjanjian yang telah diadakan degan nenek moyang mereka, dengan suatu perjanjian yang baru, per-janjian yang hanya bergantung kepada kasih-karunia Tuhan. Artinya, kegagalan bangsa Israel di masa lampu untuk mentaati hukum Taurat-Nya akan diganti oleh kehendak dan kesanggupan untuk menaatinya, apabila Taurat-Nya ditulis dalam hati umat. Sehingga setiap orang akan memberi respon secara spontan kepada kasih karunia Tuhan. Sifat dan kelakuannya pun berkenan di hati Allah. Mereka semua akan mengasihi dan mentaati Tuhan, bukan lagi pada hukum yang tertulis pada loh batu, melainkan hukum yang tertulis di dalam hati mereka. Dengan berakhir-nya tampilan prosa deuteronomis ini, maka batas akhir perikop ini ialah ay. 34. Itu berarti ayat berikutnya merupakan tema baru, yang mana jenis sastranya berupa puisi.
The New Covenant
Yer. 31:33-34
The Inseparable Bond between
Yahweh and Israel
Yer. 31:35
33Tetapi beginilah perjanjian yang Kuada-kan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; ma-ka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku 34 Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: “Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikian-lah firman TUHAN, sebeb Aku akan me-ngampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka.”
35 Beginilah firman Tuhan:
yang memberi matahari untuk
menerangi siang,
yang menetapkan bulan dan
bintang-bintang untuk
menerangi malam,
yang mengharu biru laut, sehingga gelombang-gelombangnya
ribut –
TUHAN semesta alam nama-Nya:
Tabel 1.4..
[2] pada ay. 35, ini terdapat penggunaan frase beginilah firman Tuhan, me-nunjukkan adanya suatu tema baru yang ingin ditawarkan Yeremia kepada para pembaca atau pendengarnya. Menurut Robert Peterson, mo-tif frase ini lazim dipakai Yeremia sebagai sebuah pendahuluan.[48] Peng-gunaan frase ini dalam kitab Yeremia, diketemukan sebanyak 150 kali. Adapun tema yang di sajikan di sini menegaskan bahwa dalam hati seti-ap orang tidak akan timbul perasaan, Allah akan menolak umat-Nya. Kasih Allah kekal selama-lamanya, sebagaimana dengan kekekalan-Nya Allah menjadikan alam semesta. Sehingga ay. 35 merupakan titik ber-angkat dari perikop “The Inseparable Bond between Yahweh and Israel.”

Dari keterangan-keterangan yang ada, kelompok menegaskan dan me-nyimpulkan bahwa perikop “The New Covenant” berawal dari Yer. 31:31, dan berakhir pada Yer. 31:34.

















BAB II
ANALISA LITERER PERIKOP YER. 31:31-34




Bagian ini merupakan analisa literer atas perikop Yer. 31:31-34. Fungsi dari bagian ini ialah mengajak para pembaca memahami seluruh perikop Yer. 31:31-34 dalam hubungannya pula dengan keseluruhan kitab Yeremia. Ber-bicara tentang analisa ini, hal yang hendak dibahas ialah konteks perikop, struktur perikop dan analisa perikop berdasarkan struktur untuk mempertang-gungjawabkan struktur tersebut, dan komposisi perikop. Penjelasan selengkap-nya akan diuraikan pada bagian berikut ini.

1. Konteks Perikop Yer. 31:31-34
Yang dimaksud dengan konteks ialah hubungan kata-kata yang ter-jalin pada suatu kisah. Oleh karena itu, konteks dipandang penting karena bermanfaat untuk memahami jalinan antara kisah yang dimaksudkan de-ngan kisah sebelum atau sesudahnya. Intinya ialah, konteks menjadi kese-kitaran dari sebuah teks yang memberi makna tertentu pada teks tersebut dan yang terjalin satu sama lain untuk membentuk satu kesatuan ide.[49]
Untuk memahami konteks Yer. 31:31-34, terlebih dahulu kita perlu mengetahui kedudukan teks ini dalam keseluruhan struktur dari Kitab Yeremia.
1.1. Konteks Kitab: “Kasih Allah dalam Setiap Kecaman”
Umumnya kitab Yeremia berisi kecaman terhadap bangsa Israel yang tidak setia kepada Yahwe, karena terjadinya praktek sinkretisme agama. Tema sentral ini kemudian diimbangi dengan tekanan relasi antara Yahwe sebagai Allah dan Israel sebagai umat yang dimateraikan dengan kasih. Hal ini tampak pada perikop Yer. 31:31-34 yang merupa-kan bagian dari unit yang lebih besar dari Yer. 30:1-33:26. Sehingga pada gilirannya, unit yang luas itu juga merupakan bagian penting dari kitab Yeremia, yang berbicara tentang tema penghiburan. Tema ini meru-pakan salah satu tema yang sangat penting bagi bangsa Israel yang se-dang mengalami pembuangan. Karena melalui tema ini, Yeremia hendak mengangkat kesadaran bangsanya bahwa Allah mereka adalah Allah pengharapan, perjanjian, kekuatan, dan kehendak kuat untuk membuat mereka menjadi bangsa yang kudus, kendatipun mereka telah bersikap tidak setia kepada Allah. Dengan demikian, ia juga membuat mereka melihat, bahwa Allah mencintai mereka, juga ketika Allah menghukum mereka. Hal ini terungkap ketika ia sendiri mengkotbah-kan perjanjian yang baru.[50] Dengan khotbah-khotbah seperti ini ia mem-bangkitkan kembali semangat, optimisme, dalam diri bangsa Israel seba-gai umat Allah.

1.2. Konteks Jauh: “Kitab Penghiburan bagi Bangsa yang Tertindas”
Dari struktur yang disajikan pada bab sebelumnya, kita dapat me-lihat bahwa perikop Yer. 31:31-34 yang kita bahas merupakan bagian dari The Book of Conscolation [Yer. 30:1-33:26]. Bagian ini berbicara ten-tang penghiburan yang bermaksud meyakinkan bahwa bangsa Israel ti-dak akan lenyap sama sekali. Pemulihan mereka dijanjikan [30:1-24] dan juga pembangunan kembali negara dan bangsa disertai dengan sukacita dan kemakmuran [31:1-28]. Harapan akan masa depan yang lebih baik akan dinyatakan. Yang mana pada waktu itu, umat Israel akan diperba-harui secara rohani melalui suatu perjanjian baru dengan Allah [31:29-40].[51]

1.3. Konteks Dekat: “Perjanjian Baru”
Jika kita berpatokan pada struktur di atas, nampak bahwa kon-teks terdekat dari perikop Yer. 31:31-34 yaitu perikop yang mendahului [“Two Short Sayings;” Yer. 31:27-30] dan perikop yang mengikuti [“The Inseparable Bond between Yahweh and Israel;” Yer. 31:35-37]. Da-lam pembahasan ini, kita akan mempelajari data-data yang menjadi intisari dari kedua perikop tersebut dalam hubungannya dengan perikop yang telah kita pilih
1.3.1. Perikop yang Mendahului [Yer. 31:27-30] “Dua Nubuat Pendek”
Latar belakang dari perikop ini berbicara tentang negeri Israel sekarang yang merupakan reruntuhan, penduduk dan he-wannya sangat kurang,[52] sehingga perikop ini berbicara pula ten-tang Allah Sang Pencipta, menciptakan kembali ciptaan-Nya de-ngan benih-benih yang baru. Sehingga, ciptaan yang lama, yang dipenuhi oleh kejahatan akan dihancurkan-Nya.[53] Proses pencip-taan baru dan penghancuran ciptaan lama nampak ketika Allah menghakimi atau memberikan ganjaran kepada bangsa Israel se-suai dengan perbuatan mereka. Bukan menurut dosa-dosa masa lampau yang dibuat oleh nenek moyang mereka, yang kejahatan-nya telah mendatangkan kehancuran dan pembuangan bagi bang-sanya. Seperti yang tertulis pada ay. 29-30; “Pada waktu itu orang tidak akan berkata lagi: Ayah-ayah makan buah mentah, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu, melainkan: setiap orang akan mati karena kesa-lahanya sendiri; setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sen-diri menjadi ngilu,”[54] yang membuat bangsa Israel berdalih pada dosa-dosa masa lampau, yang membuat mereka sulit bertobat – menciptakan kelembaman moral – ditinggalkan, melainkan de-ngan cara yang baru. Suatu cara di mana perlakuan Allah yang le-bih bersifat personal lebih membangun kesadaran pribadi akan dampak yang diterima. Kesadaran itu bertumbuh apa bila mere-ka kembali ke dalam hati inti dari kepribadian manusia. Karena hati merupakan tempat Allah menaruh Taurat-Nya yang baru, se-bagaimana yang dilukiskan dalam perikop selanjutnya perjanjian baru.

1.3.2. Perikop yang Mengikuti [Yer. 31:35-37]: “Ikatan yang tak terce-raikan antara Yahwe dengan Israel”
Perikop ini berisi tentang dua buah janji Allah kepada Israel. Isi dari kedua janji tersebut ialah pertama Allah berjanji ke-pada Israel tentang kelangengannya sebagai sebuah bangsa seba-gaimana terungkap dalam ay. 36: “Sesungguhnya, seperti ketetapan-ketetapan ini tidak akan beralih dari hadapan-Ku, demikianlah firman Tuhan, demikianlah keturunan Israel juga tidak akan berhenti menjadi bangsa di hadapan-Ku untuk sepanjang waktu.” Kedua, dunia sendiri menjadi ilustrasinya, sehingga kelestarian Israel sebagai sebuah bangsa berdasarkan kekekalan Yahwe [bdk. ay. 35 dan 37].[55] Dari keterangan di atas, inti dari perikop ini sebenarnya menegaskan, tidak dapat timbul dalam hati setiap orang bahwa Tuhan akan menolak umat-Nya untuk selama-lamanya, sebab Tuhan sendiri dalam perikop “Perjanjian Baru” telah menaruh Taurat-Nya da-lam batin setiap orang dan menuliskannya dalam hati mereka [bdk. ay. 33].

2. Divisi Perikop Yer. 31:31-34
Meskipun teks yang hendak kita bahas ini terdiri dari empat ayat. Ayat-ayat inilah yang hendak kita telaah lebih lanjut, untuk membentuk ke-rangka logis yang akan menuntun kita dalam membuat analisa literer. Ma-ka hal yang perlu diperhatikan di sini ialah masing-masing ayat haruslah memiliki makna demi makna yang cukup berarti untuk menyempitkan dan memberikan arah dalam teks ini. Pada bagian divisi ini, kami akan menyaji-kan pandangan kami sendiri, sebagai berikut:

2.1. Divisi Teks Menurut Kelompok
Setiap ahli memiliki cara pandangnya masing-masing dalam me-mahami garis-garis besar teks sebagai satu kesatuan, yang memiliki ikatan formal maupun tematis interen bagian tersebut. Pada kesem-patan ini, kelompok juga akan menawarkan satu divisi berdasarkan te-ma perjanjian. Kelompok mengangkat hal ini karena sesuai dengan topik yang didalami oleh kelompok yaitu berbicara tentang arti perjanjian baru dalam Yer. 31:31-34 [makna kata perjanjian baru dalam dunia tekstual perjanjian lama]. Di samping itu pula, kelompok melihat kata perjanjian diketemukan sebanyak empat kali dalam perikop ini, itu berarti betapa pentingnya kata perjanjian untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Divisi ini dibuat dalam hubungannya untuk mengkaji makna teologis yang terkandung di dalam perikop ini. Karena apabila kelompok mengikuti divisi me-nurut William L Holladay di atas, tidak banyak membantu kelompok dalam menemukan pesan teologis teks ini. Untuk lebih jelasnya, berikut ini kami tampilkan divisi teks Yer. 31:31-34:
31:31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan menga-dakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
31:32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada wak-tu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; per-janjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas me-reka, demikianlah firman TUHAN.
31:33-34 Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, de-mikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan me-nuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar sauda-ranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."
Jika diperinci stuktur di atas, maka garis besarnya ialah sebagai berikut:
Bag
Ayat
Tema/keterangan
1
ay. 31
Janji akan diadakannya Perjanjian Baru
2
ay. 32
Penegasan bentuk dan isi Perjanjian Baru
3
ay. 33-34
Bentuk dan isi Perjanjian Baru:
- Allah akan menaruh dan menulis Taurat-Nya dalam batin dan hati umat-Nya
- Allah akan Menjadi Allah Mereka; mereka akan menjadi umat-Nya
- Mereka semua akan mengenal Allah
- Allah akan mengampuni dan tidak mengingat dosa dan kesalahan mereka
Tabel 1.5.
Demikianlah divisi teks yang dapat kami tawarkan kepada para pembaca. Divisi ini menjadi kerangka utama bagi kami dalam proses penganalisaan perikop selanjutnya.

3. Komposisi Perikop Yer. 31:31-34
Setelah membuat divisi perikop, kelompok melihat bahwa unsur yang terpenting dari perikop Yer. 31:31-34 ialah ay. 33-34. Yang oleh kelompok, dimasukkan ke dalam bagian tema “bentuk dan isi perjanjian ba-ru.” Kelompok melihat bagian ini amat penting. Hubungannya dapat dilihat, bahwa bagian 3 merangkum bagian 1 dan 2. Dengan kata lain, inti dari nubuat perjanjian baru terdapat pada bagian terakhir ini.

4. Penafsiran Perikop; Sebuah Pertanggungjawaban Divisi Yer. 31:31-34

31Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan per-janjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, 32bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN. 33Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. 34Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."
Bab ini akan membahas secara lebih lanjut hubungan yang terjalin erat antara perjanjian baru yang diadakan oleh Allah dengan Israel umat-Nya. Analisa ini lebih difokuskan pada istilah perjanjian baru dalam hu-bungannya dengan bangsa Israel, tanpa harus mengabaikan tema-tema lain yang menjadi pendukung dalam teks ini. Dengan kata lain, bab ini menjadi bagian analisa li-terer, sekaligus penelaahan terhadap Yer. 31:31-34, sesuai dengan strukur teks yang telah ditentukan oleh kelompok sendiri. Dalam menganalisa perikop Yer. 31:31-34, kami akan menggunakan pendekatan sinkronik dan diakronik berdasarkan garis-garis besar pembagiannya. Teks ini dibagi menjadi 3 bagian sebagai berikut:

3.1. Janji akan diadakannya “Perjanjian Baru”
31Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
Bagian ini menurut Thompson merupakan satu-satunya referensi mengenai “Perjanjian[56] Baru” dalam dunia tekstual Perjanjian Lama. Hal ini menjadi representasi salah satu wawasan yang paling mendasar dalam ke-seluruhan Perjanjian Lama.[57] Yang menurut F. Cawley dan Millard, bagian ini menjadi bagian yang teramat penting sebab terdapat satu pokok utama yang menyatakan kesatuan, kesenadaan dan keter-kaitan antara Alkitab PL dan PB.[58] Oleh Peter F. Ellis dilihat sebagai landasan dan inti dari ajaran teologi Perjanjian Baru.[59] Kendatipun dalam teks ini, hanya Yeremia yang berbicara tentang Perjanjian Baru, namun ia juga sebenarnya berbicara tentang tema yang sama secara tidak langsung di bayak tempat lain, misalnya: nubuat tentang “hati yang baru” yang merupakan suatu janji kepada orang buangan dari tahun 597 SM;[60] dalam surat penuh pengharapan kepada “pohon ara yang baik” dalam pembuangan di Babel;[61] dan dalam tradisi ba-ru yang akan diciptakan Allah di negeri Israel “... perempuan akan merangkul laki-laki.”[62]
Dalam teks sebagai mana yang tertulis, perjanjian baru ini akan di-adakan oleh Yahwe “ ... dengan kaum Israel dan kaum Yehuda.” Suatu perjan-jian yang dimaksudkan di sini untuk menunjukkan janji dari Allah untuk menyelamatkan suatu umat bagi-Nya. Janji itu sungguh-sungguh terjadi, kendatipun belum diketahui dengan pasti kapan hal itu akan terjadi, yang nampak dalam frase “Sesungguhnya, akan datang waktunya.” Yang pasti ialah Yahwe tetap memenuhi janji-Nya kembali untuk menyatukan tahta Daud menjadi sedia kala. Lewat perjanjian ba-ru itu Yahwe akan mempersatukan umat-Nya yang tercerai-berai akibat perpecahan dan permusuhan pada masa lampau.
Menurut W.S. Lasor dkk, disebutkannya ungkapan kaum Israel dan kaum Yehuda dalam ayat ini, sebenarnya mau menunjukkan idealisme Yeremia sendiri yang mengharapkan agar Allah memulihkan kembali Israel yang telah terpecah menjadi dua kerajaan yakni kerajaan Utara yang menyebut diri sebagai kaum Israel dan kerajaan Selatan yang me-nyebut diri sebagai kaum Yehuda, pada zaman Yerobeam.[63] Sehingga tidak akan lagi kaum Isarel atau pun kaum Yehuda. Yang ada hanyalah “umat Israel sejati” di mata Yahwe. Suatu umat yang percaya bahwa Tuhan adalah Allah Perjanjian [El Berit], Allah yang telah melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Yang memenuhi semua janji-Nya kepada Abraham dengan membimbing mereka ke negeri Israel, dengan menolong mereka berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar. Allah yang tetap setia dan memberikan kasih karunia-Nya bagi mereka, kendatipun mereka telah bersikap kejam dan tidak setia pada perjanjian.
Dan kelak perjanjian yang baru itu akan disempurnakan oleh “tunas adil” yang muncul dari tahta Daud. Sebuah simbolisasi bahwa janji untuk mengadakan perjanjian yang baru dengan seluruh umat-Nya, baik kaum Israel maupun Yehuda, dilaksanakan oleh Kristus me-alui kematian dan kebangkitan-Nya. Karena esensi perjanjian baru ialah siapa saja [baik orang Yahudi maupun bukan orang Yahudi] dapat me-gambil bagian dalam perjanjian baru apabila mereka percaya kepada Yesus sebagai Mesias dari Allah yang menjadi Juruselamat mereka.
Intisari dari bagian ini hendak menegaskan bahwa sebagai mana dalam perjanjian lama, perjanjian baru juga diprakarasi oleh Allah sen-diri, suatu ungkapan dari kekuasaan-Nya. Kekuasaan-Nya nampak, ketika Allah sendiri berinisiatif membangun kembali perjanjian-Nya yang baru dengan umat-Nya. Perjanjian itu lebih bersifat universalistik. Oleh sebab itu, kebebasan Allah untuk mengunakan kuasa-Nya tidak tergantung dari pihak manusia. Kesimpulan yang diambil oleh kelom-pok berdasarkan keterangan-keterangan yang ada, bagian ini sungguh-sungguh merupakan janji akan diadakannya perjanjian baru. Penegasan ini terungkap dengan jelas, dengan adanya frase “Aku akan mengadakan perjanjian baru.....” Perjanjian itu diadakan Yahwe dengan kaum Israel dan kaum Yehuda.

3.2. Penegasan bentuk dan isi “Perjanjian Baru”
32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN.
Bagian ini merupakan ungkapan negasi bahwa perjanjian baru yang akan diadakan Yahwe dengan umat-Nya, “bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir.”[64] Latarbelakang maklumat ini ialah perjanjian yang diresmikan Yahwe dengan Israel di gunung Sinai.[65] Pernyataan perjanjian ini ialah ide Yahwe sebagai Tuhan yang berkuasa atas perjanjian. Kelanjutan dari adanya perjanjian ini bergantung pada pengakuan akan Yahwe sebagai Tuhan dan kesetiaan pada perjanjian itu.[66] Oleh karena itu, melanggar perjanjian akan menyebabkan hukuman dan kutuk, sedangkan mentaati perjanjian akan memperoleh berkat dari perjanjian itu. Bertitik tolak dari sejarah bangsa Israel, sejak zaman Musa, mereka terus-menerus me-langgar perjanjian, bahkan menolak untuk tidak mentaati hukum dan pengenalan akan Yahwe. Mereka menjadi sebuah bangsa yang tegar tengkuk. Kutipan ini juga hendak menegaskan keprihatinan Yeremia terhadap kehidupan bangsa Israel yang telah mengingkari perjan-ian besar di Sinai.[67] Pengingkaran tersebut disebabkan oleh dosa yang melekat dalam kehidupan manusia laksana belang macan tutul dan warna kulit orang Etiopia.[68] Oleh karena itu mereka membutuhkan sua-tu perjanjian baru.
Pertanyaan selanjutnya ialah perjanjian yang baru itu bentuknya bagaimana dan ada yang membuat “baru” dari perjanjian itu. Peter F. Ellis memberikan argumen demikian, yang baru dari per-janjian yang baru pertama-tama bukanlah Allah yang membuatnya atau orang-orang Israel atau kehendak Allah yang diungkapkan dalam pe-rintah-perintah di Sinai, melainkan buah-buah dari perjanjian yang baru dan cara-cara buah yang baru itu dihasilkan.[69] Atas cara yang sama pula F. Cawley dan Millard berargumen demikian, ketika Allah menyatakan bahwa “perjanjian-Ku telah mereka ingkari…” inilah salah satu indikasi penting yang menunjukkan keti-daksamaan yang dicatat Yeremia: di bawah perjanjian pertama, manusia tidak mampu menghayati keten-tuan-ketentuan dari perjanjian, meskipun Tuhan adalah “tuan yang ber-kuasa atas mereka…” di sini Yeremia memahami hubungan perjanjian itu seperti hubungan pernikahan [bdk. Yer. 2:2, 3]. Itu berarti dengan menyatakan Tuhan sebagai Tuan, atau suami, tidak ada kesetiaan pada pihak ilahi.[70] Maka perjanjian lama itu perlu dilanjutkan oleh perjanjian baru karena kelemahan manusiawi [bdk. Ul. 5:28, 29], sebagaimana per-janjian yang lama juga tidak membatalkan perjanjian dengan Abra-ham.[71]
Intisari dari bagian ini hendak menegaskan bahwa perjanjian baru yang diadakan oleh Allah lebih bersifat pribadi daripada janji perka-winan yang dengan terang-terangan “… telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka.” Perjanjian yang secara lahiri-ah terungkap dalam hukum tertulis yang tidak diindahkan sepenuh-pe-nuhnya oleh Israel itu, pada suatu hari akan diabadikan dalam hati ma-nusia [hukum yang tidak tertulis]. Dari keterangan-keterangan yang ada, kelompok menyetujui bahwa bagian ini merupakan keterangan mengenai penegasan dari bentuk dan isi perjanjian baru, yang membedakannya de-ngan perjanjian di Sinai. Penegasan itu ditunjukkan dengan adanya frase “....bukan seperti.”

3.3. Bentuk dan Isi “Perjanjian Baru”
33Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. 34Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan meng-ampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."
Bagian ini merupakan penjabaran bentuk dan isi perjanjian baru yang dijanjikan Allah bagi umat-Nya [bdk. ay. 31-31]. Bentuk dan isi per-janjian yang terungkap di sini menjadi pembeda utama dengan per-janjian yang diadakan pada waktu Yahwe dengan nenek moyang Israel di gunung Sinai. Kelompok mempelajari setidaknya ada empat unsur baru dalam perjanjian yang baru ini, yakni: pertama, perjanjian itu ditulis dalam hati manusia, bukan pada dua loh batu sebagaimana yang telah Allah buat dengan umat-Nya di Sinai. Kedua, Taurat yang telah ditulis di dalam setiap hati manusia memiliki dampak bagi relasi yang intim dan mesra dengan Allah. Yang mana Allah akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Selanjutnya, ketiga, perjanjian baru yang dihidupi dalam sema-ngat persatuan yang mendalam antara Yahwe dan umat-Nya, begitu juga sebaliknya, dapat menghasilkan pe-ngenalan yang benar akan Allah. Sebab Taurat baru yang ditaruh dalam hati setiap manusia, yang mencakup kepatuhan penuh dan persekutuan yang kaya tidak membutuhkan pengajaran manusia. Dan terakhir, ke-empat, perjanjian itu menjadi “jaminan keselamatan” akan pengampun-an sepenuhnya terhadap dosa-dosa yang mendatangkan hukuman.
Keempat unsur inilah yang menjadi ciri khas perjanjian baru, suatu nubuatan yang digemakan oleh Yeremia kepada bangsanya agar mereka berbalik kembali kepada Allah. Nubuatan itu juga menyampai-kan pesan yang membangkitkan pengharapan baru bahwa Allah tetap menganugerahkan kasih karunianya [khesed] kepada umat-Nya, kenda-tipun mereka telah melanggar perjanjian pertama. Sebab Allah adalah Tuhan mereka; “Aku adalah Aku”[72] Sehingga, kasih setianya kekal aba-di untuk selama-lamanya.
· Allah akan Menaruh dan Menulis Taurat-Nya dalam Batin dan Ha-ti umat-Nya
Jika pada perjanjian lama, Yahwe menuliskan Taurat-Nya da-lam dua loh batu[73] atau pada sebuah buku,[74] maka ciri khas dari per-janjian baru ialah Allah menaruh dan menuliskan Taurat-Nya dalam hati ma-nusia.[75] Pertanyaan yang muncul, mengapa Allah memilih hati manusia sebagai tempat untuk menuliskan Taurat-Nya? Atau mengapa Yeremia menggunakan kata “hati” dalam menyampaikan nubuat tentang perjanjian baru yang diadakan Yahwe dengan umat-Nya?
Secara terminologis, kata Ibrani hati, “kaved,” dari akar kata yang berarti “berat.” Dalam perkembangan selanjutnya berarti “di-hormati,” dengan demikian merupakan organ yang berat. Dalam Yes. 21:21, penggunaan kata hati dijadikan bahan ramalan masa depan, yang didasarkan atas tanda-tanda pada bagian dalam hati itu sendiri. Sedangkan orang Ibrani umumnya berpikir bahwa pusat perintah keseluruhan ma-nusia adalah “lév” atau “lévav”-nya [Yu-nani: kardia].[76] Istilah ini jika diterjemahkan secara harafiah berarti “jantung.”[77] Lev inilah yang membentuk seseorang menjadi manu-sia,[78] dan yang memerintah semua tindakannya.[79] H. Wheeler Rob-hinson menggolongkan berbagai konsepsi tentang pemakaian kata lev dan levav sebagai berikut:[80] [1] menyangkut yang badaniah atau perlambangan; [2] dapat pula menunjuk pada kepribadian, kehi-dupan batin atau watak secara umum;[81] [3] menyangkut keadaan emosional, dalam cakupan yang lebih luas, misalnya gelisah, susah dan gembira;[82] [4] menyangkut kegiatan-kegiatan intelek, perha-tian, ingatan, refleksi, pengertian dan keahlian teknik;[83] terakhir [5] menyangkut kehendak, kemauan atau maksud, arti ini merupakan pemakaian yang paling khas dalam PL.[84] Sehingga, bagi orang Israel hati lebih berhubungan dengan kehedak orang daripada emosinya.[85] Maka, ketika Allah “...menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka,” hendak menegaskan bahwa Allah mau membangun relasi yang lebih personal, bukan hanya sekedar relasi yang bersifat legalistik [hubungan vassal]. Sebab dengan mem-bangun relasi demikian, Allah mengubah hati manusia menjadi hati yang baru. Hati yang baru haruslah menjadi tujuan dari setiap orang yang durhaka dan tidak setia, sehingga hukum Allah bukan lagi merupakan sesuatu yang ada di luar melainkan di dalam hati - inti kepribadian manusia – di mana segala kehendak dan dimensi yang ilahi bersemayam.[86] Sungguh, apabila Taurat itu ditulis dalam hati, setiap manusia akan memberikan respon secara spontan kepada kasih-karunia Tuhan. Sifat dan kelakuannya pun sesuai dengan ke-hendak Tuhan secara sempurna.[87] Intinya ialah kesetian pada per-janjian dan pengakuan akan kekuasaan Allah, hanya dapat dicapai, apabila manusia hidup dari kedalaman hati, batin, pikiran dan ke-hendaknya.[88]

· Allah akan menjadi Allah mereka; mereka akan menjadi umat-Nya
Meskipun Israel tidak setia kepada Yahwe, mengingkari janji-janji yang telah diadakan-Nya dengan nenek moyang mereka [Yer. 31:32], namun Ia tetap menyatakan kasih setia-Nya kepada umat pilih-an-Nya dan tidak membatalkan perjanjian-Nya bahwa “.... Aku akan menjadi Allah mereka; mereka akan menjadi umat-Ku.”[89] Yang menjadi lan-dasan perjanjian tersebut ialah prakarsa Tuhan semata-mata. Artinya, manusia tidak boleh lupa sesaat pun bahwa melalui perjanjian-perjanjian itu, Allah sendirilah yang bertindak. Sedang-kan “... menjadi umat-Ku” di sini berarti menjadi milik Allah sendiri. Di sinilah letak relasi perjanjian antara Yahwe dengan Israel direa-lisasikan.
Kelompok melihat bahwa ada kemungkinan rumus ini digema-kan kembali, untuk mengajak bangsa Israel membangun hubungan rohani, dan juga menyadarkan mereka bahwa rumus yang sama pernah diungkapkan Allah ketika diadakannya perjanjian Sinai; “... Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah-mu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan, Allah-mu”[90] Itu berarti mereka diajak untuk bersatu kembali dengan Yahwe menjadi umat Allah yang ba-ru,yang dikhususkan bagi Allah [am YHWH atau am Elohim, atau Yun. Laos Theu] dan yang diikat oleh perjanjian.

· Mereka semua akan mengenal Allah
Yeremia dalam hal ini, sangat menekankan pengenalan akan Tuhan.[91] Mengenal Tuhan berarti mengakui tuntutan-tuntutan-Nya atas kehidupan manusia, memberi respon kepada kasih-Nya dengan men-taati-Nya.[92] Dengan kata lain, pengetahun tersebut merupakan pengetahuan praktis tentang Allah dalam setiap tindakan dan si-tuasi, konkretnya sebuah sikap hidup.[93] Oleh sebab itu, ketika setiap orang baik mereka yang muda dan tua, dari yang paling kecil sam-pai yang paling besar, mampu mengenal [Ibr. yāda’] Tuhan berkat campur tangan-Nya sendiri, maka “.....tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenal Tuhan!” Latar belakang dari ungkapan ini ialah, pada waktu zaman sebe-lumnya, Allah mengajar umat-Nya melalui perantaraan seperti Mu-sa, para Imam dan para nabi. Namun pengajaran-pengajaran itu ti-dak membuat mereka mengenal Allah lebih mendalam. Indikasi-nya ialah mereka tidak taat pada perjanjian, meskipun diadakannya pembaharuan-pembaharuan terhadap perjanjian tersebut. Karena-nya, di era yang baru ini, zaman pengharapan, perantara-perantara tersebut akan menjadi tidak berguna. Yang ditekankan pada zaman ini ialah pengenalan akan Allah yang secara lebih personal, me-nimbulkan sebuah komitmen mendalam yang mengerahkan sege-nap pikiran, emosi, perkataan dan kehendak untuk setia pada per-janjian.[94]

· Allah akan mengampuni dan tidak mengingat dosa dan kesalahan mereka
Yeremia, dalam perikop ini menekankan segi khusus dari perjanjian baru itu. Segi khusus itu ialah semua anggota umat Allah akan mempunyai saluran hubungan yang intim kepada Allah, lewat pengenalan akan Allah secara mendalam, dan akan terus berlang-sung melalui penanganan yang menyeluruh dan terakhir atas dosa itu “... sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi me-ngingat dosa mereka."[95] Tindakan Allah yang baru ini akan meng-halaukan dosa-dosa yang telah diampuni itu bahkan pemikiran Allah, dan hal itu terjadi dengan seterusnya.[96] Hal ini tentunya ber-lawanan dengan tuntutan-tuntuan ritual dari Perjanjian di Sinai, yang memperhadapkan manusia dengan peringatan-peringatan dari kesalahan mereka secara terus-menerus.[97]
Ketika Allah tidak lagi mengingat dosa dan kesalahan umat-Nya, itu berarti Allah hendak menunjukkan kesempurnaan tin-dakan-Nya. Arti kata “mengingat” di sini jelas adalah Allah tidak mengingat dosa yang dilakukan oleh orang berdosa. Perhitungan akan dosa-dosa manusia dibatalkan. Hal yang ditekankan di sini ia-lah pengampunan yang tiada batasnya menegaskan kasih Allah te-tap berlaku bagi bangsa Israel, kendati pun telah dikatakan sebe-lumnya bahwa mereka dihukum karena dosa dan pelanggaran yang mereka lakukan baik dibidang moral maupun bidang spiritual.
Dalam pemahaman dunia Perjanjian Lama, menurut L.L Moris, setidaknya ada 3 akar kata yang dipakai untuk menerangkan gagasan pengampuanan, yakni; [1] kata “kpr” berarti penebusan, dan sering dipakai berhubungan dengan korban-korban, dengan arti bahwa pendamaian sudah terjadi. [2] kata ns’ yang berarti memba-wa, menggambarkan secara hidup dosa diangkat dari si pendosa lalu dibawa jauh. [3] kata slkh berarti “mengampuni.” Kata kpr dan slkh dipakai untuk me-nunjukkan pengampunan ilahi, sedangkan kata ns’ dikenakan untuk menunjukkan pengampunan insani.[98] Dari ketiga akar kata, kata yang kiranya mendekati pengampuan Yahwe atas kesalahan dan dosa umat-Nya ialah kata ns.’

Dari keterangan-keterangan yang ada, kelompok menyetujui ba-gian ini merupakan isi dan bentuk dari perjanjian baru yang dijanjikan Allah kepada umat-Nya, yang termaktub dalam empat unsur penting, sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

BAB III
REFLEKSI TEOLOGIS
Pada bagian ini, kita akan membahas perikop Yer. 31:31-34 secara men-dalam dari segi teologisnya, untuk menemukan makna dan hakikat dari nu-buatan perjanjian baru. Refleksi teologis ini dibagi menjadi dua bagian, yakni pesan teologis perikop, dan relevansi teologis perikop dalam terang teologi Kristiani.

1.1. Pesan Teologis Yer. 31:31-34

1. Yahwe: Allah Perjanjian [El-Berit] yang Setia
Ungkapan bahwa Yahwe adalah Allah Perjanjian yang setia me-nemani dan menuntun umat-Nya, tampak pada ay. 32. Di sini dilukis-kan, kendati umat Israel telah mengingkari perjanjian yang diadakan dengan nenek moyang mereka, namun Allah tidak menarik janji setia dan kasih karunia-Nya bagi bangsa Israel. Justru Allah mengadakan perjanjian yang baru. Sebuah perjanjian yang akan memperbaharui kehidupan umat Israel, baik dalam kehidupan keagamaan maupan kehidupan sosial-masyarakat. Kalau dulu Allah, dalam perjanjian di Sinai Allah menaruh Taurat-Nya pada dua loh batu, sekarang Allah menaruh dan menuliskan Taurat-Nya dalam hati setiap manusia. Itu berarti, Allah menghendaki suatu perjanjian yang lebih lebih bersifat personal, yang menuntut kesetiaan umat Israel. Dengan demikian, umat Israel tidak dapat lagi menggagalkan kehendak Allah, karena Al-lah telah menguasai hati mereka. Dan mereka pun akan mengasihi dan mentaati kehendak Allah.

2. Perjanjian Baru: Harapan Baru akan Keselamatan Universal
Hal yang dituntut dalam perjanjian baru ialah kesetiaan ter-hadap perjanjian. Keutamaan ini, jika dihidupi dengan sungguh-sungguh akan membawa berkat, bukan saja bagi bangsa Israel tetapi juga untuk seluruh bangsa. Karena esensi perjanjian baru ialah siapa saja [baik orang Yahudi maupun bukan orang Yahudi] dapat megambil bagian dalam perjanjian baru. Suatu perjanjian yang universalistik.

1.2. Teologi Yer. 31:31-34 dalam Terang Teologi Kristiani
Pada bagian ini, kita diajak untuk melihat dan membaca pesan teks ini dalam kacamata/perspektif teologi Kristiani.

1. Yesus Kristus Sebagai Pemenuhan Nubuat Perjanjian Baru
Pada ay. 31, Yeremia menubuatkan, Allah akan mengadakan perjanjian baru dengan umat-Nya. Perjanjian baru melanjutkan sekali-gus melampaui dan menggantikan perjanjian lama, yang dalam pelak-sanaannya terhalang oleh ketidaksetiaan, dosa-dosa umat. Nubuatan ini menjadi harapan dan kerinduan Yeremia akan datangnya zaman Mesianik.
Yesus Kristus hadir menggenapkan perjanjian baru yang telah dinubuatkan oleh para nabi. Penggenapan itu dilaksanakan lewat kor-ban penebusan[99] sebagai sarana peneguhan perjanjian baru antara Allah dan umat, sekaligus mengampuni dosa dan pelanggaran mereka [Yer. 31:34].[100] Korban penyelamatan yang diadakan Allah dalam diri Yesus Kristus melalui peristiwa salib dan kebangkitan-Nya,[101] kini menjadi anugerah pendamaian orang berdosa dengan Allah.[102]
Apa yang dijanjikan dalam nubuat perjanjian yang baru yakni Allah akan menganugerahkan Taurat dalam hati dan batin umat-Nya, diberi artinya baru ialah hukum cinta kasih; persekutuan dengan Al-lah, menjadikan manusia sebagai anak-anak Allah; pengenalan akan Allah secara dekat, dan rahmat pengampunan dosa, sungguh-sungguh hadir dalam diri Yesus Kristus. Oleh Kristus, berkat-berkat itu dialami oleh semua manusia.

2. Roh Kudus; Roh Pembaharu Perjanjian
Di mensi pneumatologis dari perikop ini tampak pada tindakan Allah menaruh Taurat-Nya dalam batin/hati manusia. Karenanya, Israel tidak akan diikat secara lahir saja, melainkan hatinya akan diubah sehing-ga mereka dengan suka hati taat pada firman Tuhan. Yang berperan da-lam mengubah hati manusia adalah Roh Kudus yang dicurahkan Allah bersama dengan Taurat-Nya. Peranan Roh Kudus dalam mengubah hati manusia menjadi hati baru, diperlihatkan dengan jelas oleh Yeh. 11:19, 20, paralel dengan Yer. 31:33; “Aku akan memberikan mereka hati yang lain, dan Roh yang baru dalam batin mereka ...... supaya mereka hidup menurut ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku degan setia; maka merekan akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka.”
Batin dan hati manusia menjadi sumber berbagi segi kepribadian manusia; suatu tempat tersembunyi bagi pemikiran-pemikiran, iman, atau pun paham. Ia juga menjadi pusat keputusan-keputusan yang menentu-kan kesadaran moral, hukum yang tertulis, suatu tempat perjumpaan de-ngan Allah. Satu-satunya yang dapat menyelaminya ialah Roh [Yun. nous]. Sehingga dalam bahasanya Paulus, perjanjian baru merupakan anugerah Roh Kudus.[103] Roh itulah yang menjadi asas pembaharuan batin dan me-mampukan manusia menepati hukum Taurat dalam cinta kasih.[104]
Dari keterangan di atas, dapatlah dimengerti, ketika Allah menaruh Taurat-Nya dalam hati manusia, Allah juga sebenarnya menganugerahkan Roh Kudus-Nya untuk bersatu dengan manusia, agar mereka juga dapat bersatu dengan Tuhan [membangun hubungan rohani]. Atas cara itu, manusia sungguh-sungguh diperbaharui. Maka orang yang dilahirkan kembali oleh Roh, tentunya dapat mematuhi perjanjian Allah dan meng-utamakan kebenaran dalam hidupnya. Intinya, Perjanjian yang Baru mengubah hati manusia menjadi hati yang baru berkat Roh Kudus-Nya. Relevansinya bagi teologi Kristiani, Roh yang sama yang telah dicurahkan Allah kepada umat-Nya, kini hadir dalam diri Yesus. Keyakinan ini mere-ka ungkapkan bagaimana Roh Allah berkarya dalam perkataan dan per-buatan Yesus.

3. Perjanjian Baru: Persekutuan Umat Baru dalam Yesus Kristus
Jejak-jejak eklesiologis dalam perikop ini, terdapat pada nubuatan “Aku akan menjadi Allah mereka, mereka akan menjadi umat-Ku.” Nubuatan ini hendak menegaskan ide persekutuan Allah dengan umat pilihan-Nya. Persekutuan itu di mengerti sebagai tindakan inisiatif Allah yang mau ber-sekutu dengan umat-Nya, dan sekaligus persekutuan itu mengandung berkat keselamatan.
Dalam sejarah Israel, persekutuan ini dimulai dari perjanjian Allah dengan Abraham. Isi persekutuan itu, Abraham akan mendapatkan berkat keturunan yang menjadikannya sebagai bapa segala bangsa. Persekutuan itu, kemudian dilanjutkan melalui Musa, yang menghasilkan persekutuan Sinai, di mana Allah menetapkan persekutuan-Nya yang digoreskan da-lam dua loh batu; persekutuan ini menuntut kesetian dari bangsa Israel; Daud yang menghasilkan persekutuan davidik. Intinya, dalam setiap per-janjian, Israel dijadikan menjadi umat-Nya. Mereka berada dalam hubung-an khusus dengan Allah.
Para nabi dalam perjanjian Lama, mengilustrasikan Israel adalah ka-wanan, dan Allah adalah gembalanya. Israel adalah putera, sedangkan Allah adalah Bapa; Israel adalah isteri, dan Allah adalah suami. Motif per-sekutuan ini menghadirkan persekutuan sebagai relasi cinta kasih.[105] Cinta itu menuntut pembalasan dari pihak manusia. Cinta menjadi sebuah hu-bungan timbal-balik. Maka ada beberapa tahap yang harus dilewati, yakni Israel harus mengenal Allah [Ibr. Jd], mencintai Allah [Ibr. Hb], dalam arti hasrat emosional, ada rasa tertarik, mendengar, kemudian memiliki cinta [hesed] dan kebenaran [emet], yang menuntut sikap kesetiaan dan solideri-tas. Inilah yang menjadi esensi dan isi persekutuan.
Akan tetapi, persekutuan Allah dengan umat-Nya Israel, tidak sela-lu berjalan mulus. Ketidakmulusan disebabkan sikap pengingkaran bang-sa Israel terhadap perjanjian [bdk. Yer. 31:32]. Karena itu, mereka telah menciptakan relasi yang retak dengan Allah. Kendati demikian, Allah tetap menyatakan rencana persekutuan-Nya dalam rangka menyelamat-kan umat-Nya. Sehigga, Ia mendahului untuk mengadakan satu perseku-tuan, yang oleh Yeremia disebut sebagai persekutuan baru.[106] Dalam hu-kum yang baru itu, Allah menulis hukum-Nya dalam hati; dengan begitu Ia akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Hosea menyebut persekutuan ini sebagai pertunagan baru, yang menum-buhkan rasa cinta, keadilan dan kesetiaan.[107] Sedangkan Yehezkiel menye-butnya suatu persekutuan abadi, persekutuan yang akan menyempurna-kan persekutuan Sinai dan Daud.[108]
Gereja sebagai persekutuan umat Allah yang baru, yang percaya ke-pada Yesus Kristus, Putera Allah, menjadi bentuk nyata realisasi perjanjian Allah kepada umat-Nya, bahwa Ia akan mengadakan persekutuan baru dengan mereka. Kedatangan Mesias perjanjian, yang kini meraja, men-jadikan segala bangsa anggota kerajaan Allah. Kalau dulu persekutuan itu masih terbatas pada bangsa Israel, maka kini persekutuan baru lebih ber-sifat universal.[109] Dengan demikian, umat yang bersatu kembali dengan Allah berkat perantaraan Yesus, Putera-Nya, diciptakan kembali menjadi umat Allah yang baru melalui pembaptisan.[110] Dalam hal ini, Nico Syukur Dister menambahkan pula, umat Allah yang baru termasifestasi dalam diri para murid dipersatukan oleh Allah, justru karena kepribadian Yesus sen-diri yang bagi mereka itu mewujudkan hukum Taurat dan malah melebi-hinya: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”[111]
Dengan keterangan yang ada, dapat disimpulkan, paham “umat Allah” yang secara eksplisit tersirat pada ay. 33, menjadi titik tolak kita un-tuk memahami Eklesiologi dalam pandangan Kristiani. Pemahaman ini tentunya menempatkan Gereja dalam perspektif sejarah yang lebih luas karena berhubungan dengan masa lampau dan masa depan. Dalam hu-bungannya dengan masa lampau, sebagai umat Allah, Gereja harus dika-takan suatu tahap baru dalam sejarah keselamatan.[112] Sedangkan dalam hubungannya dengan masa depan, Gereja harus dikatakan sebagai umat Allah yang berziarah, yang pada akhirnya berorientasi pada akhir zaman – kedatangan Yesus kembali – untuk mengalami persekutuan yang abdi.[113]

4. Yesus Kristus Penjamin Keselamatan Umat Manusia
Berbicara tentang soteriologi, berarti berbicara tentang sejarah pe-nyelamatan Allah dalam perjalanan hidup manusia yang sungguh-sung-guh mewujud. Sejarah itu dimulai dari umat Israel. Karena itu, mereka mengakui bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah keselamatan mereka. Dalam perjalanan sejarahnya, tindakan penyelamatan dari Allah nampak-nya digagalkan oleh dosa dan ketidaktaatan bangsa Israel. Rusaknya hu-bungan Allah dengan umat-Nya, membuat para nabi mulai memikirkan suatu tindakan penyelamatan baru di masa mendatang. Meskipun aktivi-tas penyelamatan baru jika ditinjau dari sisi Allah merupakan kelanjutan dari yang dahulu, akan tetapi tetap memiliki perbedaan yang mendasar. Kalau dahulu semuanya gagal karena umat tidak setia pada perjanjian, maka tindakan yang baru itu mestinya menjamin kesetiaan dari sisi ma-nusia.
Nabi Yeremia, dalam nubuatnya pada Yer. 31:31-34 mencerminkan pikiran, pengharapan dan keyakinan tersebut.[114] Baginya, ketika Allah me-naruh Taurat dalam hati setiap manusia, berarti Tuhan sendiri membuat umat menjadi setia pada syarat-syarat perjanjian dari pihak manusia. Atas cara itu, tujuan perjanjian yakni keselamatan menyeluruh [syalom] dapat terwujud. Di samping itu, unsur lain yang dapat menjamin keselamatan, dosa-dosa harus diampuni, supaya pelaksaan perjanjian berjalan dengan mulus. Dengannya, manusia dapat berelasi dengan Allah secara menda-lam menjadi umat-Nya dan mengenal Dia, tetapi juga hubungan dengan sesama menjadi lebih baik.[115]
Dalam perspektif Yer. 31:31-34, tindakan penyelamatan itu masih merupakan nubuat keselamatan yang akan terjadi di masa depan. Akan Tetapi bagi umat Perjanjian Baru, mereka meyakini bahwa pengharapan tersebut sudah menjadi nyata. Keyakinan ini terungkap dengan jelas da-lam Ibr. 8:6; 9:15, atas komentarnya terhadap Yer. 31:31-34. Di sana terung-kap bahwa Yesus Kristus adalah unsur baru dalam perjanjian. Peranan-Nya dalam perjanjian ialah menjadi penjamin keselamatan bagi seluruh umat manusia [egguos], bukan hanya pengantara [menistes] antara Allah dan umat manusia. Dengan demikian, perjanjian baru, relasi antara Allah dan manusia, akan tetap dan mencapai tujuannya yakni, “keselamatan uni-versal.”[116] Oleh sebab itu, Yesus diberi gelar “Juruselamat” [Yun. soteria] dunia, bagi semua manusia, menekankan peranan penyelamatan Kristus yang datang dari Allah.[117]

5. Perjanjian Baru: Sebuah Pengharapan akan Keselamatan Kekal
Aspek ekskatologi juga secara eksplisit tampak pada Yer. 31:31-34. Di sana dilukiskan tentang pengharapan datangnya perjanjian baru. Ha-rapan itu juga merupakan “harapan untuk hari depan.”[118] Perdamaian, pertobatan, pengenalan akan Allah, dan setia kepada janji Allah adalah isi dari harapan itu.
Pengharapan menjadi jembatan antara perjanjian pertama dan ke-dua. Hubungan itu nampak pada akan datang-Nya kerajaan Allah. Yesus Kristus menjadi pernyataan hadirnya Kerajaan Allah dalam dunia, melalui karya-karya-Nya.[119] Kedatangan-Nya di dunia tidak hanya sebagai kabar gembira bagi masa depan yang diambang pintu. Yang mana dalam situasi baru itu, manusia secara sempurna mengenal Allah, karena telah bertatap muka secara langsung dengan-Nya. Di sini manusia, sungguh-sungguh mengalami kasih Allah yang begitu nyata dalam hidup mereka. Akhirnya, pokok pengharapan yang menghubungkan perjanjian lama dan perjanjian baru ialah kepercayaan pasti pada kasih setia Allah. Bagi orang Kristiani, dasar pengharapan mereka ialah kepercayaan akan Allah yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dengan cara demikian Al-lah mematahkan belenggu dosa manusia. Ini sejalan dengan pengharap-an akan janji pengampuan dosa bagi umat manusia [Yer. 31:34]. Pengam-punan dosa menjadi unsur terpenting, dalam perspektif eskatologi Kristia-ni. Manusia hanya dapat bertatap muka secara langsung dengan Allah dalam Kerajaan-Nya di surga, jikalau manusia dibersihkan dari segala ke-jahatan dan dosanya.[120]

6. Ekaristi: Perjanjian Baru Yang Hidup
Aspek Sakramentologi dalam nubuatan Yer 31:34: “….sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka," menjadi nyata dengan Perkataan Yesus: “Inilah darahku, darah perjanjian baru dan kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi banyak orang demi pengampunan dosa…,”[121] “lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku.”[122] Di sini Yesus hadir sebagai Sakramen Allah yang membawa keselamatan bagi umat manusia. Segala belenggu dosa dan maut dipatahkan, berkat darah-Nya yang tertumpah pada Kayu Salib. Karl Rahner menegaskan bahwa kata-kata ini merupakan inti atau pusat penghayatan Gereja akan perwujudan Sabda Allah dalam ruang dan waktu sebagai penyelamat ma-nusia.[123]
Rumus di atas dalam Gereja Katolik digunakan dalam perayaan Ekaristi. Sehingga, melalui dan dalam Ekaristi, kita menggabungkan diri kita kepada Kristus dalam pesta perjanjian yang baru; maka pantaslah kita berkata kepada Bapa "Engkau tahu bahwa sesungguhnya …. Kami mendedika-sikan diri kami bagi-Mu.” Dalam Ekaristi, Umat Allah dihidupkan, dinyata-kan, dimanifestasikan kembali.[124] Relasi baru antara Allah dan Manusia di-pulihkan lagi berkat pengampunan dosa. Kiranya ini menjadi alasan per-lunya Ekaristi setiap hari. Dengan demikian gambaran manusia baru men-dapatkan keterangan dalam kepatuhan yang total sehingga dapat di-rahmati. Rahmat tersebut terbentuk melalui Ekaristi, Perjanjian Baru yang hidup.


PENUTUP

Perikop Yer. 31:31-34, ini kaya akan makna. Jikalau digali lebih men-dalam, kita akan memahami dan menemukan apa yang menjadi kerinduan para nabi umunya, khususnya dalam teks ini nabi Yeremia. Perikop ini sebe-narnya mengupas apa yang menjadi makna perjanjian baru yang dinubuatkan oleh Yeremia dalam dunia tekstual Perjanjian Lama.
Jika teks ini dibaca dalam kacamata iman Kristiani [teologi Perjanjian Baru], relevasinya bisa mencakup beberapa aspek. Misalnya aspek Kristologi; dalam aspek ini umat Perjanjian Baru menyakini, Perjanjian baru itu digenapi dalam diri Yesus Kristus, yang menghadirkan keselamatan dan penebusan do-sa berkat korban di kayu salib. Dalam hubungannya dengan aspek pneumato-logi, Yesus dipandang sebagai Roh Allah yang hadir melalui pewartaan dan tindakaan-Nya mewartakan hukum cinta kasih yang telah tertulis dalam hati setiap manusia. Aspek eklesiologis, lebih menegaskan bahwa janji diadakannya persekutuan umat Allah yang baru disempurnakan dalam diri Yesus. Aspek Soteriologi melihat jalan keselamatan yang mana dosa-dosa mereka telah diam-puni hanya terjadi berkat karya penyelamatan Yesus. Sedangkan aspek Eskatologis, lebih melihat perjanjian baru itu merupakan harapan akan masa depan, di sana Yesus menjadi hakim, menghakimi manusia sesuai dengan tin-dakan-Nya, mereka yang selamat tentu dapat menatap wajah Allah dalam kemuliaan-Nya. Akhirnya, aspek Sakramentologi, melihat tindakan Allah me-ngampuni kesalahan dan tidak mengingat dosa-dosa mereka, secara sempurna, menjadi nyata dalam tindakan dan perkataan Yesus sendiri saat merayakan Ekaristi bersama dengan para murid. Kehadiran Yesus menjadi Sakramen Allah yang menyelamatkan manusia dan menciptakan tatanan semesta menjadi baru. Pada intinya, nubuat ini menjadi sarana pewartaan nabi untuk memberikan pengharapan dan penghiburan bagi bangsanya yang sedang mengalami masa desolasi yang berkepanjangan. Dengan satu penegasan bahwa Allah tetap setia mendampingi mereka, kendatipun mereka tidak setia kepada Allah. Karena kasih Allah itu tak terselami, dan selalu mengalir bagi siapa saja yang mau berbalik kepada-Nya. Sekian !!!
DAFTAR PUSTAKA

Alkitab
LAI. Alkitab Deuterokanonik. Jakarta: 2005.
LBI. Kitab Suci Katolik. Ende: Arnoldus, 2002.
LAI dan LBI. Alkitab Elektronik. Jakarta: 2002.
Edward, Mard. “Covenant,” dalam Biblia Clerus [ISB Encyclopedia J-Z], tanggal
20 Mei 2009.
________ “Jeremiah,” dalam Biblia Clerus [ISB Encyclopedia J-Z], tanggal 20 Mei
2009.
Buku-buku Komentar Kitab Suci
Ackroyd, P.R., Leaney, A R C., and Packer, J.W. Jeremiah 26-52. Cambridge: The
Cambridge Bible Commentary New English Bible, 1982.
Cawley, F. dan Millard, A.R. “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, terj.
W.B. Sijabat, Jilid II. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1999.
Couturier, Guy. F. “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary,
edited by R.E. Brown, J.A. Fritzmeyer, R.E. Murphy. Bangalore-India: Theological Publication, 1994.
Ellis, Peter F. “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, editor Dianne
Bergant CSA dan Robert J. Karris OFM, terj. A. S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Peterson, Robert M. Kitab Yeremia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998.
Thompson, J.A. The Book of Jeremiah. Michigan: W.B. Eerdmans, 1981.
Buku-buku Rujukan Sekunder
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika, jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
_________________. Teologi Sistematika, jilid 2. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Fritzmeyer, Joseph A. Katekismus Kristologi, terj. I. Suharyo. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Green, Dennis. Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Yayasan Penerbit Gandum
Mas, 2001.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
__________. Sejarah Dogma Kristologi. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
__________. Soteriologi Alkitabiah – Keselamatan yang Diberitakan Alkitab.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Koch, Klaus. The Prophets, translation Margareth Kohl, volume two. London:
SCM Press Ltd, 1983.
Komisi Kitab Suci. Penafsiran Alkitab dalam Geraja. Yogyakarta:Kanisius, 2003
Ladd, G.E. The New Testament and Criticism. Grand Rapids, Mich: W.B.
Eerdmans, 1978.
Lasor, W.S. dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, terj. Lisnda Tirtapraja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996.
Macpherson, Ann., Rhymer, Joseph., and Challenor, John. Amos, Hosea, Isiah and
Jeremiah. London, SCM Press Ltd, 1971.
Rad, Gerhard von. The Massage of the Prophets, terj. Edward Haller. London:
SCM Press Ltd., 1982.
Richard, Lawrence O. Richard’s Complete Bible Handbook. New York – USA:
Word Publishing, 1987.
Röthlisberger, H. Firman-Ku seperti Api – Para Nabi Israel. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002.
Sitompul, A.A. dan Beyer, Ulrich. Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 1997.
Weiden, Wim Van der. Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, terj. I. Suharyo.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Kamus dan Ensiklopedi
Banwell, B. O. “heart,” dalam The Illustration Bible Dictionary, part 1, edited by
J.D. Douglas. England: Inter-Versity Press, 1994
Leon-Dufor, Xaveir. “Janji:Perjanjian,” dalam Ensiklopedi Perjanjian Baru, terj.
Stefan Leks dan A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
McKanize, John L. Dictionary of the Bible. New York: A Touchstone Book, 1995.
Morris, L.L. “Ampun, Pengampunan,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini,
terj.Martin B. Dainton, jilid I [A-L]. Jakarta: Yayasan Bina
Kasih, 2007.
Murray, J. “Janji, Perjanjian,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, terj. Harun
Hadiwijono, jilid I [A-L]. Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2007.
Thompson, J. J. G. S. “Yeremia,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, terj. M. H.
Simanungkalit. Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2007.
Artikel-artikel
Holladay, Willam L. “Elusive Deuteronomists, Jeremiah, and Proto-Deutero-
nomy,” dalam CBQ, vol. 66, no. 1 (Januari 2004).
Whitters, Mark F. “Jesus in the Footsteps of Jeremiah,” dalam CBQ, vol. 68, no. 2
(April 2006).
LAMPIRAN
Alkitab Terjemahan LAI dan LBI
King James Version

Contemporary
English Version
Today’s English Version
31:31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demiki-anlah firman TUHAN, A-ku akan mengadakan per-janjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
31:31 Behold, the days co-me, saith the LORD, that I will make a new cove-nant with the house of Is-rael, and with the house of Judah:
31:31 The LORD said: The time will surely come when I will make a new agreement with the peo-ple of Israel and Judah.

31:31 The LORD says, "The time is coming when I will make a new covenant with the people of Israel and with the people of Judah.
31:32 bukan seperti per-janjian yang telah Kuada-kan dengan nenek mo-yang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, mes-kipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mere-ka, demikianlah firman TUHAN.
31:32 Not according to the covenant that I made with their fathers in the day that I took them by the hand to bring them out of the land of Egypt; which my covenant they brake, although I was an husband unto them, saith the LORD:

31:32 It will be different from the agreement I made with their ancestors when I led them out of Egypt. Although I was their God, they broke that agreement.

31:32 It will not be like the old covenant that I made with their ancestors when I took them by the hand and led them out of Egypt. Although I was like a husband to them, they did not keep that covenant.

31:33 Tetapi beginilah per-janjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesu-dah waktu itu, demikian-lah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam ha-ti mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi u-mat-Ku.
31:33 But this shall be the covenant that I will make with the house of Israel; After those days, saith the LORD, I will put my law in their inward parts, and write it in their hearts; and will be their God, and they shall be my people.

31:33 Here is the new agreement that I, the LORD, will make with the people of Israel: "I will write my laws on their hearts and minds. I will be their God, and they will be my people.

31:33 The new covenant that I will make with the people of Israel will be this: I will put my law within them and write it on their hearts. I will be their God, and they will be my people.

31:34 Dan tidak usah lagi orang mengajar sesama-nya atau mengajar sauda-ranya dengan mengata-kan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, be-sar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."
31:34 And they shall teach no more every man his neighbour, and every man his brother, saying, Know the LORD: for they shall all know me, from the least of them unto the greatest of them, saith the LORD: for I will forgive their iniquity, and I will remember their sin no more.
31:34 "No longer will they have to teach one another to obey me. I, the LORD, promise that all of them will obey me, ordinary people and rulers alike. I will forgive their sins and forget the evil things they have done."

31:34 None of them will have to teach his fellow countryman to know the LORD, because all will know me, from the least to the greatest. I will forgive their sins and I will no longer remember their wrongs. I, the LORD, have spoken."

Footnotes

[1] Bdk. G.E. Ladd mendefinisikan kritik sastra in sensu lato demikian: “Literary Criticism is the study of such questions as the authorship, date, palce of writing, recipients, style, source, integrity, and purpose of any piece of literature.” Lih. G.E. Ladd, The New Testament and Criticism (Grand Rapids, Mich: W.B. Eerdmans, 1978), hlm. 109, 112.
[2] Pendekatan diakronik merupakan suatu model pendekatan untuk menjelaskan teks dengan menelusuri asal-usul dan perkembangan teks sampai pada bentuk finalnya. Sedangkan pendekat-an sinkronik merupakan pendekatan untuk menjelaskan teks sebagaimana adanya Sekarang, dalam pemahaman apa yang hendak dipesankan oleh pengarang kepada orang-orang di zaman-Nya. Komisi Kitab Suci, Penafsiran Alkitab dalam Geraja (Yogyakarta:Kanisius, 2003), hlm. 48-49.
[3] Penggunaan nama Yeremia yang kita pakai saat ini, diambil dari bahasa Ibrani yirmeyāhû atau yirmeyāh, yang bararti “uncertain.” Lih. John L. McKanzie, “Jeremiah,” dalam Dictionary of the BibleI (New York: A Touchstone Book, 1995). Bdk. ________ “Jeremiah,” dalam Biblia Clerus [ISB Encyclopedia J-Z], tanggal 20 Mei 2009.
[4] Sejarah panjang dari penghakiman atas Yehuda mencapai mata rantai terakhir ketika Nebukadnezar menunjuk Gedalua sebagai gubernur [Yer. 40:1-16]. Kaum nasionalis memandang dia sebagai boneka Babel dan membunuhnya. Takut akan amarah Nebukadnezar, pemimpin-pe-mimpin Yahudi yang tinggal di bawah pimpinan Yohanan berencana untuk lari ke Mesir. Yeremia membujuk mereka untuk tinggal di Yehuda dan membantu pembangunan kembali negeri yang po-rak-poranda itu. Mereka serta-merta menolak kata-kata nabi dan ironisnya, mereka malah menculik Yeremia untuk dibawa secara paksa ke Mesir berdama mereka [Yer. 41:1-43:13]. Nubuat terakhir dari nabi tua itu diucapkan di Mesir, yang menyampaikan ancaman penghukuman bagi gerombo-lan buronan Yehuda itu [Yer. 44:1-30]. Bertolak dari peristiwa ini, Yeremia mungkin menginggal di Mesir sebelum orang Yahudi kembali dari pembuangan. Namun penyunting akhir kitabnya me-nambahkan cerita ibarat cahaya yang bersinar pada ujung terowongan. Raja Yoyakhin yang dita-wan mendapat belas kasihan dari pengganti Nebukadnezar, yakni Ewil Merodakh ]Yers. 52:31-34; lihat Raj. 25:27-30]. Tindakan ini menandakan bahwa arus penghukuman telah diubah oelh peme-liharaan Allah dan harapan untuk kembali dari pembuangan dan membangun negeri kembali mu-lai terwujud. Bdk. W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, terj. Lisnda Tirtapraja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 324.
[5] Orang-orang Yehuda mengalami dua kali pembuangan, yaitu pada tahun 597 SM dan 587 SM. Seluruh jumlah orang buangan rupanya tidak lebih dari 20.000 – 30.000 orang. Tetapi karena orang-orang yang dibuang ini terdiri dari lapisan atas [pengawai, militer, Imam, dan tukang] dan karena banyak kader-kader lainnya sudah tewas dalam perang sebelumnya; kedua pembuangan itu membawa malapetaka yang sangat hebat bagi bangsa Yehuda. Sesuai kebijakkan raja Asyur dan Babel, pembuangan seperti itu dimaksudkan untuk melumpuhkan suatu bangsa. Sehingga bangsa itu tidak dapat memberontak lagi. Lih. Wim Van der Weiden, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, terj. I. Suharyo, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 68.
[6] Lih. C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 260.
[7] Lih. Yer. 1:1.
[8] Na’ar merupakan istilah yang memiliki arti ganda, yakni bisa berarti masa kanak-kanak [Kel. 2:6] atau masih belia [1 Sam. 30:17]. Lih. J. J. G. S. Thompson, “Yeremia,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, terj. M. H. Simanungkalit. ( Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2007).

[9] Lih. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, editor Dianne Bergant CSA dan Robert J. Karris OFM, terj. A. S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 551; Bdk. Klaus Koch, The Prophets, translation Margareth Kohl, volume two (London: SCM Press Ltd, 1983), hlm. 17.
[10] Bdk. Yer. 20:9, 12-13; 15:16.
[11] Bdk. Yer. 20:7-8, 10, 14-18; Lih. Bdk. Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001), hlm. 163.
[12] Lih. Mat. 16:14. Ibid. hlm. 552.
[13] Bdk. Mark F. Whitters, “Jesus in the Footsteps of Jeremiah,” dalam CBQ,, vol. no. 2 (April 2006).
[14] Lih. Yer. 36 dan 25:1-14.
[15] Lih. 36:21-23.
[16] Lih. Yer. 36:32, 36; “Lagi pula masih ditambahi dengan banyak perkataan seperti itu.”
[17] Lih. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 553.
[18] Bdk. Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001), hlm. 164.
[19] Lih. Yer. 23:9-40
[20] Lih. bab 24; 26-29; 34-45;52.
[21] Lih. bab 46-51
[22] Paragraf ini diambil dari: Lih. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 553.
[23] Bdk. Ibid. Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, hlm. 163-164.
[24] Kumpulan-kumpulan tersebut dianggap para ahli sebagai kumpulan-kumpulan yang bukan merujuk pada situasi hidup Yeremia, kendatipun nubuat-nubuat yang disampaikan di situ seakan-akan perkataan nabi Yeremia sendiri. Dari segi urutannya, urutan nubuat-nubuat mengenai Babel dan bangsa-bangsa asing itu berbeda dengan yang ada dalam LXX atau sebagai Septuaginta [terjemahan PL ke dalam bahasa Yunani], maka besar kemungkinan bahwa Yeremia sendiri tidak mengumpulkan nubuat-nubuat itu ke dalam dokumen-dokumennya. Sama seperti yanga akan di-catat kemudian, redaktur Kitab Yeremialah yang mengupulkannya dan dia menyusunnya dengan cara yang sesuai dengan maksudnya. Lih. Robert M. Peterson, Kitab Yeremia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 19.
[25] Lih. Robertus Sumarwata, Traktat Nabi-nabi (Pineleng: STF-SP, 2009), hlm. 28.
[26] Lih. Yer. 7:1-8:3; 11:1-17; 17:19-27.
[27] Lih. Ibid. W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, hlm. 313.
[28] Lih. Robertus Sumarwoto, “Metode Kritik Sastra” dalam Traktat Pengantar PL/PB (Pineleng: STF-SP, 2007), hlm. 10.
[29] Pada umumnya sebagian besar bentuk sastra kitab Yeremia berupa puisi misalnya ucapan tentang penghakiman yang bentuknya lebih bervariasi dibandingkan yang ada dalam Kitab Amos. Ucapan-ucapan tersebut bisa berupa peringatan, misalnya Yer. 9:4; berupa pertanyaan retorik Yer. 9:9; berupa tuduhan Yer. 49:1, ancaman hukuman didahului oleh “sebab itu” Yer. 49:2, janji pemu-lihan kembali Yer. 49:6; kitab penghiburan yang berisikan ucapan-ucapan keselamatan yaitu janji-janji tentang pengharapan dan pembebasan Yehuda [Yer. 30:12-17, 18-22; 13:1-14, 15-22]. Lih. Ibid. W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, hlm. 326-237.
[30] Misalnya, pertama nubuat-nubuat yang berupa prosa-prosa, terdapat dalam Yer. 7:1-8:3; 11:1-17; 17:19-27; 18:1-12; 23:1-8. Kebanyakan nubuat-nubuat ini adalah bentuk-bentuk ucapan tentang hukuman, yang berisi tuduhan akan dosa-dosa, ancaman hukuman [sering kali didahului oleh kata “sebab itu”], dan rumusan pembawa berita. Bersama ucapan ini dapat pula diceritakan bahwa panggilan untuk bertobat atau perintah untuk bertindak benar [Yer. 7:5-7; 22:1-4]. Sering kali nubuat itu mulai dengan perintah Allah mengenai di mana dan bilamana serta kepada siapa firman itu ditujukan [Yer. 7:1-dst]. Kedua, salah satu ucapan tentang keselamatan yang terkenal dari Yere-mia terdapat dalam bentuk prosa, yakni nubuat tentang perjanjian baru. Dalam nubuat itu, yang terutama ditekankan adalah perbedaan antara perjanjian lama yang dibuat pada waktu israel keluar dari Mesir dan perjanjian baru yang akan ditulis dalam hati umat Allah [Yer. 31:31-34]. Ketiga, tindakan-tindakan simbolis biasanya digambarkan dalam bentuk prosa [Yer. 13:1-11; 16:1-18; 19:1-15; 27:1-15]. Cerita-cerita ini biasanya mempunyai bentuk sebagai berikut: Tuhan menyuruh nabi untuk berbuat sesuatu – nabi dengan patuh melaksanakannya – kemudian Tuhan menerang-kan maksud tindakan itu. Keempat, cerita-cerita tentang riwayat hidup yang membentuk sebagian besar Kitab Yeremia. Panggilan nabi yang diceritakan dalam bentuk orang pertama merupakan suatu autobiografi, walaupun sebagian firman Allah terdapat dalam bentuk puisi misalnya Yer. 1:4-19, Yer. 20:1-6, Yer. 1-32. Perbedaan antara prosa biografi dan nubuat-nubuat lainnya kadang-kadang terdapat di tengah-tengah satu bagian cerita, misalnya Yer. 35:1-9, yang mana ay. 13-17 me-rupakan ucapan penghakiman dalam bentuk prosa. Kelima, cerita-cerita sejarah yang bukan men-ceritakan riwayat pribadi Yeremia, melainkan riwayat sejarh Yehuda, ditemukan dalam Yer. 39:2-28 [kejatuhan Yerusalem] dan Yer. 52:1-34 [penghancuran Rumah Allah dan rincian selanjutnya tentang pembuangan; bdk. 2 Raj. 24:18-25:30]. Lih. Ibid. hlm. 325-326.
[31] Misalnya, Yer. 22:1-8, yang mana ay. 6b-7 merupakan puisi.
[32] There are two basic characteristics of Hebrew poetry: parallelism of sme kind between the lines of the poem, and the more or less regular recurrence of accent patterns from line to line. To be sure, the way in which accent patterns are to be recognized is disputted. On the classical view only the accented syllables matter; unaccent-ed syllables may very in number but are not determinative. A different view is that both accented and unaccented syllables are to be taken into consideration. See. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah (Michigan: W.B. Eerdmans, 1981), pg. 120.
[33] Lih. Ibid. Robert M. Peterson, hlm. 28; Paralellisme sinonim, yaitu suatu gaya bahasa yang mana bagian kedua mengulangi atau menguatkan pikiran bagian pertama, misalnya terdapat dalam Yer. 4:23;
“Aku melihat bumi, ternyata campur baur dan kosong, a
dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya.” a’

[34] Lih. Ibid. Parallelisme antitetis/berlawanan. Menurut parallelisme ini, isi pemi-kiran di bagian kedua berlawan atau berkontras dengan pemikiran bagian pertama. Walaupun isi berlawanan, namun pada dasarnya tetap ada pengulangan tema atu pemikiran yang menjadi “benang merah” yang menyatukan dua tema atau pemikiran tersebut, misalnya terdapat dalam Yer. 12:2b;
“Memang selalu Engkau di mulut mereka, a
tetapi jauh dari hati mereka.” a’

[35] Lih. Ibid. hlm. 28-29; Parallelisme Sintesis/formal. Dalam parallelisme ini pemikiran dalam bagian pertama diteruskan saja dalam bagian kedua. Sesungguhnya ini bukan parallelisme sama sekali, tetapi ada hubungan formal antara kedua bagian itu, misalnya terdapat dalam Yer. 4:29a;
“Oleh karena hiruk-pikuk pasukan berkuda dan pemanah a
seluruh negeri melarikan diri.” a’
[36] Lih.Ibid. Robertus Sumarwoto, “Metode Kritik Sastra” dalam Traktat Pengantar PL/PB, hlm. 12; Bdk. Ibid. Robert M. Peterson, Kitab Yeremia, hlm. 28.
[37] Bdk. A.A. Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 72.
[38] Lih. Willam L. Holladay, “Elusive Deuteronomists, Jeremiah, and Proto-Deuteronomy,” dalam CBQ, vol. 66, no. 1 (Januari 2004), hlm. 56.
[39] Lih. Ibid. Robert M Peterson, hlm. 300.
[40] Lih. Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 70.
[41] Gaya berstruktur konsentris a b b’ a ini adalah dua parallelisme yang diletakkan bersama sedemikian rupa sehingga yang satu mengapit yang lain: a dan a’ diletakkan mengapit b dan b’.
[42] A line of Hebrew poetry normally contains shorter metrical untis or “cola.” A line with two such untis is a “bicolon/bicola,” a line of three unit is a “tricolon/ tricola.” Lih. Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 120.
[43] Contoh dari teori lain, misalnya: dapat kita lihat rujukkannya pada buku Dennis Green hlm. 164; strukur menurut Guy. F. Couturier, dalam buku The New Jerome Biblical Commentary, hlm. 268-269; struktur menurut F. Cawlay dan Millard, dalam buku Tafsir Alkitab Masa Kini Jilid II, hlm. 441-442; dan tentunya masih banyak ahli-ahli lain yang tidak dapat disebutkan di sini, yang men-coba membuat struktur Kitab Yeremia ini dengan prespekif masing-masing.
[44] Lih. Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 125-129.
[45] Lih. Ibid. 128.
[46] Yer. 31:29-30, berbunyi: “Pada waktu itu orang tidak akan berkata lagi: Ayah-ayah makan buah mentah, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu, melainkan: setiap orang akan mati karena kesalahanya sendiri; setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sendiri menjadi ngilu.”
[47] Bdk. Guy F. Couturier, “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary, edited by R.E. Brown, J.A. Fritzmeyer, R.E. Murphy (Bangalore-India: Theological Publication, 1994), hlm. 289.
[48] Bdk. Yer. 31:2.
[49] Lih. Fransiskus Kintono Utomo Lambut, “Melkisedek: Sang Imam Allah yang Mahatinggi,” dalam Skripsi S-1 (Pineleng: STF-SP, 2007), hlm. 24.
[50] Bdk. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 552.
[51] Bdk. Ibid. Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, hlm. 164.
[52] Bdk. Ibid. Robert M. Peterson, Kitab Yeremia, hlm. 297.
[53] Bdk. F. Cawley dan A.R. Millard, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, terj. W.B. Sijabat, Jilid II (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1999), hlm. 473.
[54] Bdk. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 568.
[55] Bdk. Ibid. F. Cawley dan A.R. Millard, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, hlm. 474.
[56] Kata “perjanjian” [Ibr. Berit, Yun. Diatheke], muncul sebanyak 25 kali dalam Kitab Yeremia, yakni Yer. 11:2, 3, 6, 8, 10; 14:21; 22:29; 31:31, 32 [2x], 33; 32:40; 33:20 [2x], 21 [2x], 25; 34:8, 10, 13, 15, 18 [2x]; 50:5; 3:16. Pada teks Yer. 31:31-34, kata ini disebutkan sebanyak 4x; itu menunjukkan betapa pentingnya kata itu dalam perikop ini. Mengapa penting? Menurut ahli Kitab Suci pengulangan yang terdapat dalam Sastra Kitab Suci, menjadi jalan untuk memahami isi bab atau perikop, tanpa kata-kata itu sulitlah kita memahami makna dari perikop tersebut. Oleh sebab itu, semakin banyak suatu kata dipakai, semakin besar kepentingannya dalam suatu perikop.
Makna khas kata Ibrani berit yang dipakai pada PL biasanya searti dengan perjanjian antara dua pihak yang tidak sederajat, jadi yang dibuat menurut pola perjanjian antara raja penakluk dan raja yang ditakluk-kan [dalam hal membayar upeti]. Pihak yang kuat mewajibkan diri untuk melindungi pihak yang lemah; sebagai balasannya, pihak yang lemah menyatakan ketunduk-kannya untuk mengabdi kepada yang kuat, disaksikan Tuhan. Dengan bersumpah, kedua pihak menjamin pelaksaan kewajiban mereka masing-masing. Hal ini merepresentasikan, Allah akan setia dalam janji-janji-Nya, sedangkan bangsa yang berjanji akan melaksanakan kewajiban-kewajiban-nya. Rumusan perjanjian ini berakhri dengan berkat-berkat ataupun kutukan-kutukan yang sepe-nuh-penuhnya tergantung dari pelaksanaan perjanjian dalam kenyataan. Lih. Xaveir Leon-Dufor, “Janji:perjanjian,” dalam Ensiklopedi Perjanjian Baru, terj. Stefan Leks dan A.S. Hadiwiyata (Yogya-karta: Kanisius, 2001). The term “covenant,” connoting an agreement between two fairly equel part-ners, was transposed as soon as the Hebrew scriptures were put into Greek, into the term diatheke, ‘testament’, which connotes the gift [will and testament] of God, coming to man, who ini his sub-ordinate place reciver and responds. Bdk. Ann Macpherson, Joseph Rhymer, John Challenor, Amos, Hosea, Isiah and Jeremiah (London, SCM Press Ltd, 1971), hlm. 155-156.
[57] Ada dugaan bahwa teks ini diperoleh pada abad-abad kemudian oleh dua kelompok yang berbeda, yakni sekte Qumran dan orang-orang Kristen. Sekte Qumran mengerti bahwa mereka sendiri akan menjadi manusia Perjanjian Baru. Tetapi Perjanjian Baru bagi mereka ialah sesuatu yang tidaklah lebih dari perjanjian mosaik dengan kecenderungan-kecenderungan legalistik yang amat ketat. Sedangkan kelompok orang-orang Kristen, melihat nubuat ini sebagai pemenuhan ke-datangan Yesus Kristus sebagai Tuhan [Luk. 22:20, 1 Kor. 4:15; Ibr. 8:8-9:28]. Lih. Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 579-580.
[58] Lih. F. Cawley dan A.R. Millard, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, hlm. 473.
[59] Misalnya; St. Paulus dalam 2 Kor. 3:1-5:21 dan pengarang Ibrani dalam Ibr. 8:6-9:15 secara eksplisit menerapkan ucapan ini dalam hubungan dengan Kristus. Ini juga mendasari. Meskipun tidak mengutip, secara langsung banyak dari teologi Yohanes mengenai “hidup baru” dan merupakan pusat dari ajaran Yesus dalam Perjamuan Akhir [Yoh. 13-17]. Lih. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 568.
[60] Lih. Yer. 24:7; bdk. Yer. 32:38-40.
[61] Yer. 29:5-14.
[62] Yer. 31:22. Lih. Ibid. Peter F. Ellis, hlm. 568.
[63] Lih. Ibid. W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, hlm. 334. Dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa, umat Israel tidak memenuhi panggilan mereka sebagai umat Tuhan, dan sejarah aliran Deuteronomis, yakni Kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja meriwayat-kan cara bagimana, selama masa sejak mereka masuk negeri Kanaan, bangsa Israel terus-menerus tidak mentaati Tuhan. Puncaknya ialah, mereka ditimpa malapetaka. Sebab itu, kerajaan Israel Utara dibinasakan oleh serbuan tentara Asyur pada tahun 722 SM, dan kerajaan Yehuda oleh ten-tara Babel pada tahun 587 yang menyebabkan deportasi besar-besaran ke Babilonia. Bdk. Ibid. Robert M. Peterson, Kitab Yeremia, hlm. 298-299.
[64] The Lord announces he will ‘make a new covenant with the house of Israel.” The new covenant will not be like the Mosaic [law] covenant, which generation after generation of Israel broke. No, the covenant will writ God’s law on hearts, note stone tablets. Bdk. Lawrence O Richard, Richard’s Complete Bible Handbook (New York – USA: Word Publishing, 1987), hlm. 329.
[65] Kel. 19:1-24:11; Perjanjian ini diadakan dengan Israel sebagai umat yang telah dipilih dalam kasih berdasarkan kedaulatan Allah, untuk menerima keselamatan dan pengangkatan. Ciri yang mempengaruhi para penafsir mengerti perjanjian Sinai ini secara legalistik ialah kenyataan bahwa keharusan menaati perjanjian itu diberikan tempat yang begitu terdepan dalam penyaluran per-janjian itu, dan bahwa umat itu memasuki ikatan yang serius untuk taat. Sebenarnya, tekanan pada sikap taat itu tidak membedakannya dari perjanjian lainnya. Karena, ketaatan mewujudkan satu-satunya tanggapan yang sebenarnya dari pihak umat terhadap kasih karunia Allah yang diung-kapkan oleh perjanjian. Lih. J. Murray, “Janji, Perjanjian,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, terj. Harun Hadiwijono, jilid I [A-L].
[66] Yer. 11:1-8.
[67] The content of the Sinai covenant was the revelation of the torah, that is to say, the revelation of Israel’s election and appropriation by Yahweh and his will as expressed in Law. This torah is also to stand in the centre of the new covenant which Yahweh is going to make with Israel “in these day.” Thus, as far as the content of Yahweh’s self-revelation is concerned, the new cove-nant will make to change. Bdk. Gerhard von Rad, The Massage of the Prophets, terj. Edward Haller (London: SCM Press Ltd., 1982), hlm. 182.
[68] Yer. 17:9.
[69] Lih. Ibid. Peter F. Ellis, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 568.
[70] The verb bā’altî menans “I was Lord [ba’al]; it also menas “I was a husband.” The figure of Yahweh as the husband and Israel as wife was known in prophetic teaching since the time of Hosea [Hos. 1-3] and Jeremiah used the figure in ch. 3. The translation I was Lord suits the covenant context better. Terkutip dalam: Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 581.
[71] Lih. Ibid. F. Cawley dan A.R. Millard, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, hlm. 473.
[72] Kel. 3:14.
[73] Kel. 31:18; 34:28-29; ul. 4:13; 5:22.
[74] Kel. 24:7.
[75] Bdk. Ibid. Guy F. Couturier, “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary, hlm. 289-290.
[76] Ul. 4:11; Yun. 2:3; Mat. 12:40.
[77] Penggunaan istilah ini sesuai dengan gaya bahasa Indonesia, yang mana lev biasa diter-jemahkan mengacu pada kata hati [Inggris: heart bukan lever].
[78] Ams. 16:23; 23:7; Dan. 4:16.
[79] Bdk. Rm. 4:23.;
[80] Lih. B. O. Banwell, “heart,” dalam The Illustration Bible Dictionary, part 1, edited by J.D. Douglas (England: Inter-Versity Press, 1994). Bdk. Guy F. Couturier, “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary, hlm. 290.
[81] Bdk. Misalnya, Kel. 9:14; 1 Sam. 16:7 dan Kej. 20:5.
[82] 1 Sam. 1:8; 4:13; Hak. 18:20.
[83] Kel. 7:23; Ul. 7:17; 4:19; 1 Raj. 3:9 dan Kel. 28:3.
[84] 1 Sam. 2:35.
[85] Lih. Ibid. Robert M. Peterson, Kitab Yeremia, hlm. 299. Bdk. John L. McKanize, “Heart,” dalam Dictionary of the Bible (New York: A Touchstone Book, 1995).
[86] Bdk Ibid. B. O. Banwell, “heart,” dalam The Illustration Bible Dictionary.
[87] Lih. Ibid. Robert M. Peterson, hlm. 299-300.
[88] Bdk. Ibid. J.A. Thompson, The Book of Jeremiah, hlm. 581.
[89] Menurut Robert M. Peterson, ungkapan tersebut, disebut “rumus perjanjian,” yang biasa digunakan oleh Yeremia. Lih. Ibid. Robert M. Peterson, hlm. 299. The formula was well known Yer. 7:23; 11:4; 24:7; 30:22; 31:1; 32:38; Yeh. 11:20; 36:28, ect, Zak. 8:8, Im. 26:12, ect. Bdk. Ibid. J.A. Thompson, hlm. 581. Bdk. Ibid. Guy F. Couturier, “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary, hlm. 290. Bdk. P.R. Ackroyd, A R C Leaney and J.W. Packer, Jeremiah 26-52 (Cambridge: The Cambridge Bible Commentary New English Bible, 1982), hlm. 71.
[90] Kel. 6:6; bdk. Ul. 29:13.
[91] Bdk. Yer. 2:8; 4:22; 9:3, 6, 24; 22:15-16.
[92] Mengenal [Yun. ginôskô], menurut Xavier Leon-Dufour, tidak terbatas hanya pada pema-haman akan sesuatu berdasarkan akal budi saja, melainkan juga mencakup dimensi pengalaman, sehingga dapat berarti: melihat, mengalami, mengetahui, menjalin hubungan akrab antar dua pri-badi. Lih. Ibid. Xaveir Leon-Dufor, “Kenal,” dalam Ensiklopedi Perjanjian Baru.
[93] Bdk. Ibid. Guy F. Couturier, “Jeremiah,” dalam The New Jerome Biblical Commentary, hlm. 290.
[94] Lih. Ibid. J.A. Thompson, hlm. 581.
[95] Lih. Ibid. F. Cawley dan A.R. Millard, “Yeremia,” dalam Tafsir Alkitab Masa Kini, hlm. 474.
[96] Bdk. Mi. 7:18-20; Ibr. 10:10-18.
[97] Bdk. Ibr. 10:3.
[98] Lih. L.L. Morris, “Ampun, Pengampunan,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, terj.Martin B. Dainton, jilid I [A-L].
[99] Mat. 26:28-dst; 2 Kor. 3:6; Rom. 11:27; Ibr. 8:6-13; 9:15-dst; 1 Yoh. 5:20.
[100] Lih. C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 48-49.
[101] Bdk. 2 Kor. 5:18-19; Rm. 5:10.
[102] Bdk. Joseph A. Fritzmeyer, Katekismus Kristologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 169-170.
[103] Yeh. 36:27; 2 Kor. 3:6; Ef. 1:13; 2:18; 1 Tes. 4:8.”
[104] Lih. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 249.
[105] Bdk. Yeh. 16.
[106] Yer. 31:31-34; 32:37-41.
[107] Hos. 2:20-25.
[108] Yeh. 16:60; 24:23 – dst.
[109] Bdk. 1 Kor. 10:32; 15:9; Gal. 1:13.
[110] Bdk. Mat. 28:19-20.
[111] Mat. 18:28. Lih. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 215.
[112] Bdk. Gal. 3:29.
[113] Bdk. Ibid. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, hlm. 207.
[114] Pengharapan akan keselamatan paling menyeluruh dan lengkap, baru terdapat secara eksplisit dalam Kitab Yeremia. Keselamatan mendatang ini ciri-coraknya baik “eskatologis” sejauh mengakhiri jalan perkembangan sejarah dan bersifat definitif, maupun “masehi” sejauh dianuge-rahkan Allah dengan perantaraan Mesias. Bdk. Ibid. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, hlm. 139.
[115] Yer. 31:25-28, 31, 34b, 38-40; Bdk. C. Groenen, Soteriologi Alkitabiah – Keselamatan yang Diberitakan Alkitab (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 147.
[116] Bdk. Ibr. 11:39-40.
[117] Luk. 2:11; Yoh. 4:42; Kis. 13:23; Ef. 5:23; 2 Tim. 1:10; Tit. 1:4; 2:13; 3:6; 2 Ptr. 1:1, 11; 2:30; 3:2; 1 Yoh. 4:14. Bdk. Ibid. C. Groenen, Soteriologi Alkitabiah – Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, hlm. 148.
[118] Bdk. Yer. 31:17; Hos. 12:7.
[119] “Sesungguhnya, Kerajaan Allah ada di antara kamu” [Luk. 17:21.
[120] Bdk. H. Röthlisberger, Firman-Ku seperti Api – Para Nabi Israel (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 119.
[121] Mat. 26:28.
[122] 1 Cor. 11:24; 25; Luk. 22:19.
[123] Bdk. Ibid. Ann Macpherson, Joseph Rhymer, and John Challenor, Amos, Hosea, Isiah and Jeremiah, hlm. 160.
[124] Ibid.

1 komentar:

  1. mantap banget isinya.....ak merasa terbantu...maju terusssss

    BalasHapus