Selasa, 04 Agustus 2009


DEUS CARITAS EST, ALLAH YANG PEDULI
(Oleh: Alexander SiskoMahasiswa Jurusan Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Hati Kudus Pineleng - semester V)

Allah peduli, Allah mengerti segala persoalan yang kita hadapi.
Tak akan pernah dibiarkannya kubergumul sendiri, s’bab Allah peduli.

* * *

Penggalan lagu “Allah Pedulidi atas, terkadang sulit kita terima dan yakini dengan mudah. Apalagi ketika berhadapan dengan rasa sakit yang amat sangat, kehilangan orang yang dicintai dan mengalami segala bentuk penderitaan lainnya. Emosi kita akan diperas berhadapan dengan kenyataan itu. Seringkali muncul pemberontakan-pemberontakan dalam diri kita, ingin rasanya lari dari kenyataan. Atau mungkin secara sadar atau tidak sadar, kita pun akhirnya melontarkan kata-kata: Mengapa Aku? Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi padaku? Mengapa Tuhan tidak mendengarkan dan mengabulkan doa-doaku? Di manakah Allah, ketika aku sendang bergumul? Apakah Allah sungguh-sungguh peduli, ketika aku sedang mengalami kesusahan ini? Pertanyaan-pertannya inilah yang kerapkali muncul dalam diri kita. Dan akhirnya membuat kita menjadi kurang yakin akan besarnya cinta Allah atau bahkan sedapat mungkin meragukan kehadiran-Nya di tengah-tengah kehidupan ini. Keragu-raguan ini membuat kita sulit untuk menerima kenyataan dan mau berlajar dari setiap kesusahan dan penderitaan yang kita alami.
Mungkin lebih mudah kita bersyukur atas pengalaman hidup yang menyenangkan dari pada mensyukuri pengalam hidup yang menyakitkan. Karena, kita cenderung merasa pengalaman-pengalaman yang menyakitkan itu adalah beban hidup yang perlu hindari. Di sinilah sebenarnya letak kelemahan manusiawi kita, di mana kita cenderung ingin mencari rasa aman dan menutup mata hati kita dengan berbagai pemberontakan. Hal ini membuat kita sulit memandang wajah Allah yang tersamar dalam setiap pergumulan hidup kita.

Ada Rahmat di Balik Dualisme Kehidupan
Kita mesti sadar bahwa tak ada terang jika tak ada gelap. Tak ada siang jika tak ada malam. Dan tak ada fajar jika tak ada senja. Maka, tak ada kebahagiaan, jika tak ada penderitaan. Dua unsur yang saling bertolak-belakang ini, sudah mestinya ada dalam hidup kita. Kita membutuhkan keseimbangan. Kita tidak bisa menolak, jika semuanya itu menghampiri kita. Itulah kodrat kita sebagai manusia.
Hidup itu ada suka, ada pula dukanya dan ada kebahagaiaan ada pula penderitaannya. Namun intinya ialah bagaimana kita mau belajar dari setiap pengalamanbaik itu pengalaman indah maupun suramsebagai pelajaran berharga yang akan memperkaya hidup rohani maupun sebagai momen merefleksikan hidup kita. Apabila kita mampu merenungkannya dan mengambil hikmah dari pengalaman itu, niscaya kita akan menimba kekuatan untuk menjalani hidup. Di sanalah kita menemukan sebuah rahmat di balik penderitaan kita. Jadi, penderitaan bukanlah takdir, kutukan, apalagi “Onus” atau beban, melainkan “Bonus” atau rahmat, agar hidup kita menjadi lebih baik, sesuai dengan pikiran, perasaan, dan kehendak Tuhan.
Hidup: Berziarah Bersama Penderitaan
Ingat dan sadarlah!!! Hidup kita merupakan suatu proses perziarahan yang panjang untuk mencapai kesempurnaan. Kita pasti melalui jalan yang berliku-liku, terjal maupun curam dan berkerikil tajam. Ini menandakan, perjalanan hidup kita mau tidak mau harus berhadapan dengan yang namanya kesulitan, cobaan, tantangan dan rupa-rupa derita yang selalu akan menanti. Semuanya itu mau menunjukkan bahwa penderitaan itu bukanlah merupakan hal yang sia-sia belaka, melainkan suatu hal yang mestinya ada sebagai bagian dari proses untuk menuju kepenuhan hidup. Kepenuhan hidup bagaimana? Kepenuhan hidup yang membuat kita semakin sadar dan mengakui kerapuhan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk yang rapuh, sampai kapan pun kita kita tetap membutuhkan uluran tangan kasih-Nya. Tuhan sendiri bersabda: “…. di luar Aku, kamu tidak dapat bisa berbuat apa-apa (Yoh. 15:5). Jadi, sulit bagi kita mengandalkan kekuatan kita sendiri untuk menghadapi penderitaan. Kita membutuhkan campur tangan Tuhan. Setidaknya, apabila kita mau berpasrah pada-Nya dan berani menyatukan semua penderitaan kita, beban jiwa kita diringankan. Butuh suatu sikap iman yang dalam.

Allah adalah Kasih; Sumber Kekuatan Kita
Allah adalah kasih (Deus Caritas Est), karena itu Ia begitu peduli terhadap setiap pergumulan dan penderitaan hidup kita. Ia tidak hanya berdiam diri dan melihat dengan mata kosong kehidupan kita. Sampai kapan pun Tuhan tetap berkarya untuk keselamatan dan kebahagaian hidup manusia. Kendatipun kita tidak lagi setia dan meninggalkan-Nya. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Ia tetap hadir menemani kita. Ia sendiri pernah berkataAku akan menyertai engkau senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20). Karena itu, kita tentunya tidak perlu takut, khawatir dan putus asa ketika penderitaan datang menghampiri kita. Dengan penuh keyakinan dan harapan, kita mangamini bahwa Allah adalah kasih, karena Ia mampu mengangkat penderitaan manusiawi kita ke level solidaritas Yang Ilahi sebagai jalan penebusan untuk mencapai kesempurnaan. Itulah tujuan hidup kita di dunia ini.
Kita mestinya sadar akan hal ini. Pelan-pelan kita mengubah -mindset- kita yang kurang realistis terhadap penderitaan hidup serta pandangan yang keliru terhadap Allah; Allah yang suka menghukum, murka, tidak peduli, dan berbagai atribut lainnya yang dikenakan pada-Nya. Atas cara demikian, kita pun sungguh-sungguh mampu mengakui dan merasakan bahwa Allah adalah kasih dan serentak pula mampu untuk terbuka terhadap setiap situasi hidup dan mensyukurinya sebagai rahmat. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, bahkan penderitaan sekalipun, sebagai orang-orang yang beriman, kita mesti optimis dan percaya bahwa semuanya itu akan berakhir dengan baik dan sempurna. Karena, Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia....” (Rom. 8:28).
Percayalah ketika kita sedang mengalami penderitaan, Tuhan pun turut merasakan setiap tetesan air mata kita, kecemasan, kegelisahan, ketakutan dan penderitaan kita. Tuhan sendiri tidak tega dan membiarkan umat-Nya hidup dalam lingkaran penderitaan yang tiada putus-putusnya. Ingatlah dengan persitiwa salib. Di sanalah Allah menunjukkan kepeduliaan dan perhatian-Nya kepada kita. Karena begitu besar cinta kasih-Nya kepada kita umat-Nya, Ia rela mengutus Putra-Nya yang sulung datang ke dunia, menjadi sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa; datang untuk membebaskan kita dari penderitaan dan belenggu-belenggu dosa kita. Ia pun harus menderita dan akhirnya wafat di kayu salib. Kristus yang tergantung di kayu salib itulah simbol solideritas Allah yang ikut ambil bagian dalam penderitaan kita. Allah yang selalu dan senantiasa menaruh cinta kasih dan harapan baru bagi kita agar kita mampu berdiri dan bangkit kembali menjalani perziarahan hidup kita. Bukan sebagai Allah yang kita pandang sebagai Allah yang menghukum dan murka karena kelemahan-kelemahan manusiawi kita, sehingga seolah-olah Ia tidak mendengarkan dan mempedulikan kita.
Akhirnya, dalam bahasa yang lain, Louis Evely menulis dalam bukunya yang berjudul “Our Prayer A New Approach to Everyday Prayer,” pernah menegaskan bahwa kuasa yang dimiliki Tuhan lebih merupakan kuasa KASIH yang merasuki hati manusia. Kasih itu terjelma dalam diri Yesus. Dialah kasih yang membebaskan. Dia bahkan bersama-sama dengan kita menikmati lorong-lorong sempit penderitaan. Sungguh kasih-Nya melampaui segala pengertian kita. Adalah sesuatu yang sungguh bernilai jika kita mencoba mengikuti jejak-Nya dalam menikmati jalan salib hidup kita masing-masing. Karena di balik salib ada kehidupan; sebuah hidup yang penuh dengan kelimpahan susu dan madu. Itulah paradiso; Taman Eden yang hilang akibat dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar